Sabtu, 18 Februari 2012

TEORI EKONOMI KAPITALISME


Dikerjakan Oleh:
INNEKE  M. F, AGUSTININGTYAS M, ENDANG W, PROBO S
TM8/MAP/UB 



1.    Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan
Eropa pernah diperintah kerajaan Romawi yang telah mewariskan sistem feodalistik. Dalam rentang waktu antara abad ke-14 sampai abad ke-16 muncul apa yang disebut kelas bourgeois mengiring tahap feodal dimana keduanya saling mengisi. Kemudian sejak awal abad ke-16 secara bertahap fase borjuis disusul dengan fase kapitalisme. Maka yang pertama kali muncul ialah seruan kebebasan menyusul seruan-seruan nasionalisme sekuler dan penciutan dominasi spiritual Paus. Di Perancis kemudian muncul aliran bebas pada pertengahan abad ke-18 yang melahirkan kaum naturalis.
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi.
Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.
Akar kapitalisme dalam beberapa hal bersumber dari fisafat Romawi Kuno. Hal itu muncul pada ambisinya untuk memiliki kekuatan dan meluaskan pengaruh serta kekuasaan. Kapitalisme berkembang secara bertahap dari feodalisme bourgeoisme sampai kepada kapitalisme. Selama proses itu berlangsung telah berkembang berbagai pemikiran dan idiologi yang melanda dalam arus yang mengarah kepada pengukuhan hak milik pribadi dan seruan kebebasan.
Pada dasarnya kapitalisme tegak di atas pemikiran aliran bebas dan aliran klasik. Kapitalisme pada dasarnya memerangi agama. Pada mulanya bersifat pembangkangan terhadap kekuasaan gereja. Akhirnya membangkang tiap peraturan yang mengandung moral. Kapitalisme tidak mementingkan peraturan bermoral kecuali menimbulkan manfaat pada dirinya khususnya dari segi ekonomi. Pemikiran dan pandangan yang muncul akibat revolusi industri di Eropa berperan menonjol dalam membatasi gejala-gejala kapitalisme. Kapitalisme menyeru dan membela liberalisme. Tetapi kebebasan politik telah berubah menjadi kebebasan moral dan sosial. Selanjutnya berubah menjadi permisifisme.
Kaum kapitalis memandang kebebasan adalah suatu kebutuhan bagi individu untuk menciptakan keserasian antara dirinya dan masyarakat. Sebab kebebasan itu adakah suatu kekuatan pendorong bagi produksi karena ia benar-benar menjadi hak manusia yang menggambarkan kehormatan kemanusiaan.
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam teori dependensi yang bertolak dari analisa Marxis, dapat dikatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (pusat dan pinggiran), dengan analisis utama yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Para propagandis kapitalisme  yang terkenal antara lain Francois Quesnay, John Locke, Adam Smith, David Ricardo, Robert Malhus, John Stuart Mill, Lord Keynes dan David Hume. Francois Quesnay, lahir di Versailes Perancis dan bekerja sebagai dokter di istana Louis XV. Tetapi ia lebih mengutamakan bidang ekonomi dan mendirikan aliran lesphisiocrates. Tahun 1756 ia menerbitkan dua buah makalah tentang para petani dari selatan. Pada tahun 1758 ia menerbitkan tabel ekonomi yang disebut La Tableau Economique yang di dalamnya digambarkan peredaran  uang di dalam masyarakat sebagai peredaran darah. Tentang tabel tersebut Mirabeau berkata “Di dunia ini terdapat tiga penemuan besar yaitu tulisan mata uang dan tabel ekonomi.”
John Locke meramu teori naturalisme liberal. Tentang hak milik ia berkata “Hak milik pribadi adalah salah satu hak alam dan instink yang tumbuh bersama pertumbuhan manusia. Karena itu tak ada seorangpun yang mengingkari instink ini.”
Adam Smith adalah penganut aliran klasik terkenal. Ia lahir di kota Kirkcaldy Scotlandia. Belajar filsafat dan pernah menjadi guru besar logika di Universitas Glasgow. Tahun 1766 ia pergi ke Perancis dan bertemu dgn para penganut liberalisme. Tahun 1776 ia menerbitkan The Inquiry Into The Nature And Causes of The Wealth of The Nations (disingkat The Wealth of The Nations). Buku inilah yang dikatakan kritikus Edmund Burke sebagai karya tulis teragung yang pernah ditulis manusia. Adam Smith banyak membahas unsur-unsur penting di dalam pasar yang digerakkan invisible hand, misalnya tentang modal, tanah, dan pekerja. Deskripsi normatif dari sistem kapitalisme itu sendiri, antara lain: gambaran manusia merdeka yang legal secara politis maupun ekonomi. Didalam kegiatan ekonomi, buruh dan pekerja menjual tenaganya kepada pemilik modal di pasar tenaga kerja dengan kontrak. Terdapat eksisitensi pasar komoditi yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar dan invisible hand. Setiap individu bekerja dengan tujuan untuk mencari keuntungan secara maksimal karena faktor kelangkaan sumber daya. Inti pemikiran Smith adalah bahwa proses produksi dan distribusi ini harus lepas dari campur tangan pemerintah dan perdagangan bebas. Proses ekonomi hanya akan berjalan melalui tangan-tangan tak kelihatan yang mengatur bagaimana produksi dan distribusi kekayaan ekonomi itu berjalan secara adil. Biarkan para pengusaha, tenaga kerja, pedagang bekerja mencari keuntungan sendiri. Siapapun tak boleh mencampurinya, karena ekonomi hanya bisa muncul dari perdagangan yang adil. Karenanya, pemerintah harus menjadi penonton tak berpihak. Ia tak boleh mendukung siapapun yang sedang menumpuk kekayaan, pun yang tak lagi punya kekayaan. Tangan-tangan yang tak kelihatan akan menunjukkan bagaimana semua bekerja secara adil, secara fair.
David Ricardo membahas hukum pembagian hasil per-kapita dalam ekonomi kapitalisme. Teorinya yang terkenal ialah Hukum Pengurangan Penghasilan. Kata orang ia berorientasi falsafati yang bercampur dengan dorongan moral. Hal ini didasarkan kepada ucapannya “Segala perbuatan dipandang menghilangkan moral jika bukan keluar dari perasaan cinta kepada orang lain.”
Robert Malhus seorang ekonom Inggris klasik yang dikenal pesimistis.Ia penemu teori kependudukan yang populer bahwa jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur sedangkan produksi pertanian berkembang menurut deret hitung.
John Stuart Mill yang dipandang sebagai penghubung aliran individualism dengan aliran sosialisme. Tahun 1836 ia menerbitkan buku yang berjudul Prinsip-prinsip Ekonomi Politik.
Lord Keynes teorinya berkisar tentang pengangguran dan lapangan kerja. Teori ini telah melampaui teori-teori yang lain. Karena itu dialah yang berjasa dalam menciptakan lapangan kerja secara utuh bagi suatu kekutan aktif di masyarakat kapitalis. Teori-teorinya itu disebut dalam bukunya yang berjudul Teori Umum Tentang Lapangan Kerja Bursa dan Mata Uang. Buku ini beredar pada tahun 1930.
David Hume penemu teori pragmatism yang integratif. Ia mengatakan “Hak milik khusus adalah  tradisi yang dianut masyarakat yang harus diikuti. Sebab disanalah manfaat mereka.”
Kapitalisme tumbuh subur di Inggris Perancis Jepang Amerika Serikat dan sebagian besar dunia Barat. Banyak negara-negara yang hidup dalam iklim membebek baik kepada sistem komunisme ataupun sistem kapitalisme. Tingkat keterikatan mereka berbeda-beda antara campur tangan langsung atau dengan bersandar kepada keduanya baik dalam urusan politik ataupun sikap-sikap internasionalnya
Kapitalisme Inggris sampai tahun 1875 merupakan negara kapitalis terbesar dan termaju. Kapitalisme tersebut memuncak dengan adanya Revolusi Industri. Revolusi Industri menjadikan kapitalisme mencapai kesempurnaannya. Wolf menyatakan, “Bagaimanapun kapitalisme menjadi kapitalisme yang sesungguhnya hanya dalam arti kapitalisme dalam produksi”. Secara antropologis, Revolusi Industri merupakan revolusi borjuis yang paling menentukan dalam perjalanan sejarah kapitalisme setelah Glorious Revolution tahun 1688 dan Revolusi Perancis tahun 1789.
Tetapi pada perempat akhir abad ke-19 muncul Amerika Serikat dan Jerman. Menyusul Jepang setelah perang dunia ke-2. Pada tahun 1932 di Inggris negara mulai langsung melakukan campur tangan secara basar-besaran. Di Amerika campur tangan negara mulai ditingkatkan sejak tahun 1933. Di Jerman campur tangan negara dimulai sejak Hitler. Tujuannya tidak lain hanyalah memelihara kesinambungan kapitalisme.
Campur tangan negara ini terutama dalam bidang perhubungan pengajaran dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan masa peraturan yang bersifat sosial seperti asuransi sosial dan orang-orang jompo pengangguran orang lemah pemeliharaan kesehatan perbaikan pelayanan dan peningkatan taraf hidup.

2.    Prinsip dan Bentuk Kapitalisme
Prinsip-prinsip kapitalisme
  • Mencari keuntungan dengan berbagai cara dan sarana kecuali yang terang-terangan dilarang negara karena merusak masyarakat seperti heroin dan semacamnya.
  • Mendewakan hak milik pribadi dengan membuka jalan selebar-lebarnya agar tiap orang mengerahkan kemampuan dan potensi yang ada untuk meningkatkan kekayaan dan memeliharanya serta tidak ada yang menjahatinya. Karena itu dibuatlah peraturan-peraturan yang cocok untuk meningkatkan dan melancarkan usaha dan tidak ada campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi kecuali dalam batas-batas yang sangat diperlukan oleh peraturan umum dalam rangka mengokohkan keamanan.
  • Perfect Competition (persaingan sempurna). Persaingan sempurna ditandai oleh banyak pembeli dan penjual, banyak produk yang serupa di alam dan, sebagai hasilnya, banyak pengganti. Persaingan sempurna berarti ada sedikit, jika ada, hambatan masuk bagi perusahaan baru, dan harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Dengan demikian, produsen dalam pasar yang bersaing sempurna tunduk pada harga yang ditentukan oleh pasar dan tidak memiliki pengaruh. Sebagai contoh, dalam pasar yang bersaing sempurna, harus satu perusahaan memutuskan untuk meningkatkan harga jual suatu barang, konsumen bisa beralih ke pesaing terdekat untuk harga yang lebih baik, menyebabkan setiap perusahaan yang meningkatkan harga untuk kehilangan pangsa pasar dan keuntungan
  • Price system sesuai dengan tuntutan permintaan dan kebutuhan dan bersandar pada peraturan harga yang diturunkan dalam rangka mengendalikan komoditas dan penjualannya.
Bentuk kapitalisme
  • Kapitalisme perdagangan yang muncul pada abad ke-16 setelah dihapusnya sistem feodal. Dalam sistem ini seorang pengusaha mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kebutuhan pasar. Dengan demikian ia berfungsi sebagai perantara antara produsen dan konsumen
  • Kapitalisme industri yang lahir karena ditopang oleh kemajuan industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt tahun 1765 dan mesin tenun tahun 1733. Semua itu telah membangkitkan revolusi industri di Inggris dan Eropa menjelang abad ke-19. Kapitalisme industri ini tegak di atas dasar pemisahan antara modal dan buruh yakni antara manusia dan mesin.
  • Sistem Kartel yaitu kesepakatan perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. Sistem ini memberi kesempatan untuk memonopoli pasar dan pemerasan seluas-luasnya. Aliran ini tersebar di Jerman dan Jepang.
  • Sistem Trust yaitu sebuah sistem yang membentuk satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar perusahaan tersebut lebih mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol dan menguasai pasar.
Pemikiran dan keyakinan-keyakinan lainnya yakni aliran naturalism yang merupakan dasar kapitalisme ini sebenarnya menyerukan hal-hal sebagai berikut :
  • Kehidupan ekonomi yang tunduk kepada sistem natur yang bukan buatan manusia. Dengan sifat seperti itu akan mampu mewujudkan pengembangan hidup dan kemajuan secara simultan.
  • Tidak ada campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi dan membatasi tugasnya hanya untuk melindungi pribadi-pribadi dan kekayaan serta menjaga keamanan dan membela negara.
  • Kebebasan ekonomi bagi tiap individu di mana ia mempunyai hak utk menekuni dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemauannya. Tentang kebebasan seperti ini diungkapkan dalam sebuah prinsip yang sangat masyur dengan semboyan “Biarkan ia bekerja dan biarkan ia berlalu.”
  • Kepercayaan kapitalisme terhadap kebebasan yang tiada batas telah membawa kekacauan keyakinan dan perilaku. Ini melahirkan berbagai konflik di Barat yang kemudian melanda dunia sebagai akibat dari kehampaan pemikiran dan kekosongan ruhani.
  • Rendahnya upah dan tuntutan yang tinggi mendorong tiap anggota keluarga bekerja. Akibatnya tali kekeluargaan putus dan sendi-sendi sosial di kalangan mereka runtuh.

3.    Kapitalisme Vs Marxisme 
 
 Pertama
Dalam sebuah perjuangan, kita harus tahu siapa kawan dan siapa lawan. Musuh kita adalah kapitalisme. Tetapi apakah kapitalisme itu? Jawabannya mungkin tampak sederhana. Kapitalisme bukankah sebuah sistem dimana sejumlah individu yang kaya memiliki pabrik-prabrik dan perusahaan lainnya? Bukankah para kapitalis ini bersaing pada sebuah pasar bebas, tanpa perencanaan yang terpusat, dengan hasil bahwa sistem perekonomian sering jadi kacau dan acapkali mengalami krisis? Jawaban untuk menghindari keadaan seperti itu juga tampaknya jelas, ialah menyita industri dari para individu itu (nasionalisasi), dan membiarkan negara untuk merencanakan ekonominya.
Menurut kebanyakan orang yang berhaluan kiri, hal-hal diatas dianggap merupakan inti dari ajaran Marxisme.Tetapi dewasa ini permasalahan-permasalahan diatas tidak dapat dilihat sesederhana itu. Pada satu sisi, banyak perusahaan di bawah sistim kapitalis dewasa ini tidak lagi dikontrol oleh para individu. Secara formal perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh para pemegang saham, tapi kenyataannya perusahaan-perusahaan raksasa seperti General Motors dijalankan oleh para pejabat perusahaan. Sedangkan bentuk perusahaan-perusahaan lainnya adalah perusahaan negara seperti BUMN di Indonesia. Namun kaum buruh juga dieksploitasi dalam perusahaan tersebut.
Di sisi yang lain, masyarakat yang telah meninggalkan kepemilikan swasta dan memilih rencana-rencana ekonomi yang terpusat tidak tampak menarik lagi saat ini. Negara-negara seperti di bekas Uni Soviet telah menteror kelas buruhnya, sedangkan para birokrat yang mengelola pabrik-pabrik. Dan pada akhirnya masyarakat itu juga mengalami krisis ekonomi dan politik.
Saat ini Cina mencoba mengambil alih beberapa aspek pasar bebas ke dalam kebijakan ekonomi mereka, karena takut tidak mampu untuk tetap bersaing dengan negara-negara kapitalis barat. Jadi keseluruhan arti kapitalisme dan sosialisme, dan perbedaan-perbedaan diantara kedua sistem itu, perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dewasa ini.
Disini, ide-ide Karl Marx sangatlah penting. Dia sama sekali tidak menganggap kepemilikan alat-alat produksi oleh individu swasta merupakan masalah utama kapitalisme. Yang ia tolak adalah sebuah situasi dimana alat produksi dikontrol oleh minoritas -- dalam berbagai bentuk -- untuk mengeksploitasi mayoritas.
Eksploitasi semacam ini mengambil bentuk dalam hubungan sosial di tempat kerja. Yakni para pekerja yang tidak memiliki perangkat produksi, dan tidak memiliki komoditi untuk dijual sehingga mereka harus menjual tenaga kerjanya untuk gaji (wage labour system).Ini berarti mereka tidak memiliki kontrol dari hasil kerjanya.Dalam sebuah sistem ekonomi seperti ini, tidak ada kemungkinan untuk merencanakan perekonomian demi kepentingan masyarakat luas.
Justru sebaliknya, setiap kapitalis akan didorong oleh kompetisi untuk membangun usaha dengan mengorbankan orang lain. Seperti yang dikatakan Marx, 'Akumulasi! Akumulasi! itu adalah nabi-nabi baginya'. Ini berarti yang kuat memakan yang lemah, dan sistemnya akan turun secara drastis sampai mengalami krisis ekonomi. Marx, menyebut kondisi seperti ini keterasingan (atau alienasi) pekerja, dan salah satu slogannya yang sangat terkenal adalah 'penghapusan sistem wage labour".
Di dunia moderen, modal memiliki bentuk yang bermacam-macam. Di mancanegara terjadi swastanisasi perusahaan-perusahan milik negara. Negara-negara lain seperti Swedia atau Italia masih memiliki sektor negara yang besar, sedangkan di Cina dan Kuba perencanaan ekonominya masih dilakukan secara terpusat.
Tetapi di semua negara itu analisa fundamental Marx masih sangat relevan. Alat-alat produksi masih dikontrol oleh minoritas -- meskipun komposisinya sangat bermacam-macam dari para pengusaha individu melalui sektor swasta dan birokrat yang bekerja di sektor publik. Para pekerja menjual tenaga mereka untuk mendapatkan gaji, dan tidak memiliki kontrol terhadap proses produksi atau barang-barang yang mereka hasilkan.
Produksi dilaksanakan dengan jalan kompetisi, baik dalam skop kecil, persaingan antar perusahaan maupun dalam skop besar atau nasional, antar negara, yang dipimpin oleh aparatus negara.
Kompetisi antar negara juga memiliki bentuk yang lain yaitu kompetisi militer. Bekas negara Uni Soviet selalu mendorong ekonominya berjalan secara efisien, karena harus bersaing dengan Amerika Serikat dalam hal persenjataan. Kaum buruh di Uni Soviet dihisap oleh birokrasi yang tengah berkuasa guna kompetisi militer tersebut. Kami menyebut bentuk ekonomi yang dijalankan oleh rezim Soviet itu "Kapitalisme Negara".
Apapun bentuk kompetisi itu, hasilnya selalu sama: "Akumulasi! Akumulasi! itulah nabi-nabinya!" Sedangkan para pekerja adalah korbannya. Jadi apa yang perlu dilakukan? Jawabannya ada pada sistem sosialis yang sejati, yang berarti pekerja sendiri yang harus mengontrol proses produksi, dan memproduksi untuk kebutuhan manusia, bukan untuk kebutuhan kompetisi.
Kontrol pekerja terhadap produksi -- yang berkaitan erat dengan kontrol mereka secara demokratis terhadap negara -- dapat diterapkan di sebuah negara secara sementara. Namun seperti yang kita lihat, tekanan kompetisi berlangsung secara internasional. Maka untuk jangka panjang, sosialisme mesti diciptakan di tingkat internasional.
Hidup kita membentuk sebagian miniatur masyarakat sangat kompleks. Evolusi masyarakat manusia tidak pernah lebih cepat.Teknologi adalah booming pada kecepatan yang cepat, mengubah hidup kita untuk lebih baik atau lebih buruk. Hal ini telah mendorong perkembangan dua sistem politik, ekonomi dan sosial yang berlawanan. Pada "kiri" politik adalah komunisme (atau Marxisme) dan pada "benar" adalah kapitalisme.
Kapitalisme adalah sebuah sistem politik di mana pabrik-pabrik, perusahaan, tanah, dan lain-lain milik pribadi dalam rangka untuk menciptakan keuntungan bagi pemilik. Harga barang dan jasa berfluktuasi tergantung pada keinginan konsumen dan ketersediaan barang (hukum penawaran dan permintaan). Dalam masyarakat kapitalis mereka akan perbedaan yang signifikan dalam kekayaan dan kekuasaan antara mereka yang memiliki modal (mesin, pabrik, kapal, tanah, dan lain-lain) dan mereka yang tidak. Tidak ada yang bisa mengatakan kapan kapitalisme pertama kali dimulai. Jelas perkembangan kapitalisme itu tidak revolusioner seperti haknya komunisme. Sebaliknya ia muncul secara bertahap tanpa ada yang membuat rencana dari apa yang seharusnya menjadi. Namun, seperti yang dikatakan McCracken, aspek kapitalisme modern seperti bursa saham, bank dan perbedaan besar dalam kekayaan muncul selama revolusi industri.
Didalam sistem kapitalisme, pemilikan (ownership) terletak di tangan individu, yang digunakan untuk tujuannya sendiri, yakni tujuan untuk mencari keuntungan (profit). Individu juga dapat mengambil inisiatif membentuk dan mengembangkan perusahaan-perusahaan baik secara partnership maupun korporasi. Insentif ekonominya adalah keuntungan itu sendiri, yang menjadi tujuan utama dari produksi dan usaha. Didalam aktivitas ekonomi berlaku hukum pasar, yakni mekanisme pembentukan harga yang ditentukan oleh bekerjanya faktor permintaan dan penawaran. Peranan pemerintah hanya terbatas untuk melakukan kontrol dan mengikuti perkembangannya agar tidak terjadi kegagalan pasar. Pada dasarnya, kegiatan ekonomi adalah pasar dengan sedikit atau bahkan tanpa intervensi pemerintah. Dalam perkembangannya sejak abad kedelapan belas sampai abad ke dua puluh, kapitalisme mengalami berbagai perubahan bentuk dan sifat, yaitu menyangkut bidang teknik dan industri.
Salah satu prinsip kapitalisme adalah kebebasan dalam kompetisi pasar, yang sekaligus merupakan kelemahan system ekonomi kapitalisme. Kompetisi berkaitan dengan efisiensi dan skala usaha. Hanya pemilik modal besar saja yang potensial dan mampu hidup didalam prinsip bebas tersebut. Kelompok ekonomi kecil dan lemah bisa tersingkir dalam system kapitalisme liberal bila pemerintah tidak melakukan perlindungan terhadapnya. Kelemahan ini biasanya dikompensasi dengan undang-undang perlindungan usaha kecil dan aturan persaingan yang sehat.
Pada tahun 1776 Adam Smith, seorang Skotlandia universitas profesor, menghasilkan sebuah buku yang menggambarkan cara kerja dari sebuah masyarakat kapitalis. Dia percaya bahwa kekayaan suatu negara tergantung pada semua orang mengejar kepentingan mereka sendiri. Jika seseorang mempromosikan kepentingan sendiri dia atau dia sengaja mempromosikan kepentingan negaranya. Smith berpikir bahwa pemerintah harus mempromosikan perdagangan bebas dan tidak mengganggu dengan melindungi industri tertentu dari persaingan. Satu-satunya tugas pemerintah, Smith menulis, adalah untuk memberikan layanan yang tidak bisa menguntungkan seperti pembangunan jalan, sekolah dan gereja.
Rayment menyatakan manifesto komunis memproklamasikan penyebaran kapitalisme yang tak terhindarkan di seluruh dunia. Proses ini dihentikan dan bahkan dibalik selama sebagian besar abad ke-20 oleh isolasi dari Uni Soviet, Eropa Timur dan Cina dari ekonomi dunia dan kecepatan yang sangat lambat pembangunan ekonomi di negara-negara miskin seperti India. Namun, transformasi yang luar biasa dari China dan perekonomian India berjanji untuk membawa Marx dan Engels prediksi 'sampai selesai. Apa yang mungkin menjadi implikasi bagi pekerja di negara-negara kaya? Pada pandangan pertama, letusan dari Cina ke dalam ekonomi dunia tampaknya hanya contoh terbaru dari negara-negara Asia mengejar dengan kekuatan industri terkemuka. Pertumbuhan ekspor China telah spektakuler, tapi begitu juga yang dari Jepang dan Korea pada dekade sebelumnya. 

Kedua
Menurut Encarta Reference Library, Marxisme disimpulkan dan didefinisikan sebagai "sebuah teori di mana perjuangan kelas merupakan elemen sentral dalam analisis perubahan sosial di masyarakat Barat." Marxisme adalah lawan langsung dari kapitalisme yang didefinisikan oleh Encarta sebagai " sebuah sistem ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan distribusi barang, ditandai dengan pasar bebas yang kompetitif dan motivasi oleh laba ". Marxisme adalah struktur sosialisme yang fitur terkemuka adalah kepemilikan publik atas alat-alat produksi, distribusi, dan pertukaran (Encarta, 2009). Marxisme dirumuskan pada abad ke-19. Marx dan Frederick Engels rekannya mengamati perubahan sosio-ekonomi yang transpiring di Inggris. Inggris adalah kekuatan dunia yang dominan dan memiliki industri ekonomi terbesar selama 1800-an. Pengembangan pabrik dan institusi jalur perakitan menciptakan permintaan besar untuk pekerja. Tuntutan ini kenyang dengan migrasi petani dari daerah pedesaan di Inggris dan Irlandia ke pusat-pusat perkotaan berkembang. Sebagai pusat-pusat perkotaan atau kota-kota berkembang menggunakan industri sebagai tulang punggung ekonomi bagi penduduk, sejumlah besar pekerja pabrik adalah akumulasi untuk mengoperasikan mesin dalam kondisi mengerikan. Para pekerja ini, yang akan disebut sebagai kaum tani di bawah sistem feodal, sekarang kelas pekerja atau kaum proletar. Mereka memasuki kota dengan harapan memperbaiki kehidupan mereka dan kelangsungan hidup. Meskipun revolusi tidak pernah terjadi di Inggris selama periode ini, ini memungkinkan Marx mempelajari industrialisasi, urbanisasi dan imperialisme.
Teori Marxisme memiliki tiga konsep dasar: materialisme historis, kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan produksi. Materialisme historis didefinisikan sebagai kinerja masa lalu suatu masyarakat dan kemampuan sekarang memuaskan sarana dasar kehidupan. Kebutuhan dasar umat manusia makan, minum dan tempat tinggal harus terpenuhi dengan baik. Kekuatan-kekuatan produksi (teknologi, modal, infrastruktur masyarakat, dll) yang penting bagi fakta sederhana yang pernah mereka kontrol kontrol masyarakat. Aspek terakhir dari Marxisme, hubungan-hubungan produksi, berhubungan langsung dengan hubungan antara kelas orang (aristokrasi, kelas menengah dan kelas pekerja). Marxisme mencakup analisis prediksi struktur sosial ekonomi. Menggunakan sejarah, logika dan sifat dinamis dari manusia sebagai pedoman, Karl Marx mencoba memetakan urutan peristiwa yang pada akhirnya akan mengarah ke utopia (anarki). Dalam karyanya, Das Kapital, Marx rincian enam langkah. Langkah ini adalah sosialisme primitif, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme dan kemudian anarki. Evolusi sistem ekonomi Inggris selama abad 16 dan 17 poin untuk pergeseran dari feodalisme ke kapitalisme.  

Ketiga
The "commons" adalah plot besar tanah penggembalaan dan farmable yang digunakan oleh kedua petani dan pengrajin. Hitchens mengatakan bahwa ketika pemilik tanah dan bangsawan berkenaan dengan tanah milik bangsawan mulai partisi tanah ini konsep kepemilikan pribadi properti diperkenalkan dengan sistem sosio-ekonomi.
Marxisme adalah cara berpikir yang pada dasarnya pemikiran kapitalisme yang pada akhirnya mengakibatkan bisnis menjadi semakin besar dan menindas, dan mereka akhirnya akan mengkonsentrasikan kekayaan untuk beberapa individu yang beruntung, yang dasarnya akan memperbudak semua orang lain. Pada akhirnya, Marxisme percaya, hasil kapitalisme dalam eksploitasi massal dan penindasan, dan berkhotbah bahwa cara hanya untuk semua orang untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan kekerasan menggulingkan tuan kapitalistik mereka. Marxisme percaya bahwa sekali menggulingkan terjadi, alat-alat produksi (pabrik, mesin-mesin, tanah), dapat merata dibagi oleh semua orang, dan semua orang akan bekerja sama untuk kepentingan bersama, yang berarti berbagi merata makanan, uang, dan lain-lain.
Etika Marxis sebagai Alat modern Berbagai argumen yang diajukan sebagai bukti - bahwa Karl Marx dan Frederick Engels meramalkan bahwa kapitalisme akan runtuh, dan belum, bahwa jatuhnya Tembok Berlin terkena kegagalan Marxisme; kelas yang Perjuangan tidak dapat bertahan hidup di dunia televisi kabel, Internet dan SUV. Apa yang menghubungkan mereka adalah keinginan untuk mengubur Marx dan Marxisme - historis yang menarik, mungkin, tapi tidak relevan di dunia modern. Hitchens mengatakan setiap kali Marxisme dimakamkan, tampaknya bangkit dari kematian. Apakah satu dekade atau beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan kemudian menjadi diakui, oleh para pendukung dan penentang sama, sebagai pengaruh penting pada generasi baru berkaitan dengan isu-isu keadilan, kesetaraan dan resistensi. Jika ini ini terjadi, maka harus ada sesuatu tentang Marxisme yang menarik orang untuk menguji kembali. Jika demikian, maka versi Marxisme yang diajukan oleh para kritikus dalam rangka untuk menolaknya, ide-ide kuno, obsesif berfokus pada perkembangan ekonomi dengan mengesampingkan hal lain semua harus akurat.
Segi-segi Negatif Kapitalisme
  • Sistem buatan manusia. Sekelompok kecil pribadi mendominasi pasar untuk mencapai kepentingan sendiri tanpa menghargai kebutuhan masyarakat dan menghormati kepentingan umum.
  • Egoistik. Dalam sistem kapitalisme individu dan sekelompok kecil pribadi mendominasi pasar untuk mencapai kepentingan sendiri tanpa menghargai kebutuhan masyarakat dan menghormati kepentingan umum.
  • Monopolostik. Dalam sistem kapitalisme seorang kapitalis memonopoli komoditas dan menimbunnya. Apabila barang tersebut habis di pasar ia mengeluarkannya untuk dijual dengan harga mahal yang berlipat ganda mencekik konsumen dan orang-orang lemah.
  • Terlalu berpihak kepada hak milik pribadi. Kapitalisme terlalu mengagungkan hak milik pribadi. Sedangkan komunisme malah menghilangkan hak milik pribadi.
  • Persaingan. Sistem dasar kapitalisme membuat kehidupan menjadi arena perlombaan harga. Semua orang berlomba mencari kemenangan. Sehingga kehidupan dalam sistem kapitalisme berubah menjadi riba di mana yang kuat menerkam yang lemah. Hal ini sering menimbulkan kebangkrutan pabrik atau perusahaan tertentu.
  • Perampasan tenaga produktif. Kapitalisme membuat para tenaga kerja sebagai barang komoditas yang harus tunduk kepada hukum permintaan dan kebutuhan yang menjadikan dia sebagai barang yang dapat ditawarkan tiap saat. Pekerja ini bisa jadi sewaktu-waktu diganti dengan orang lain yang upahnya lebih rendah dan mampu bekerja lebih banyak dan pengabdiannya lebih baik.
  • Pengangguran. Suatu fenomena umum dalam masyarakat kapitalis ialah munculnya pengangguran yang mendorong pemilik perusahaan untuk tidak menambah tenaga yang  akan memberatkannya.
  • Kehidupan yang penuh gejolak. Ini adalah akibat logis dari persaingan yang berlangsung antara dua kelas. Yang satu mementingkan pengumpulan uang dengan segala cara. Sedangkan yang satu lagi tidak diberi kesempatan mencari sendiri kebutuhan pokok hidupnya tanpa kenal belas kasihan.
  • Penjajahan. Karena didorong mencari bahan baku dan mencari pasar baru untuk memasarkan hasil produksinya kapitalisme memasuki petualangan penjajahan terhadap semua bangsa. Pada mulanya dalam bentuk penjajahan ekonomi pola pikir politik dan kebudayaan. Kemudian memperbudak semua bangsa dan mengeksploitasi tenaga-tenaga produktif demi kepentingan penjajahan.
  • Peperangan dan malapetaka. Umat manusia telah menyaksikan berbagai bentuk pembunuhan dan pembantaian luar biasa biadabnya. Itu terjadi sebagai akibat logis dari sebuah penjajahan yang menimpa umat manusia di bumi yang melahirkan bencana paling keji dan kejam.
  • Didominasi hawa nafsu. Orang kapitalisme berpegang kepada prinsip demokrasi politik dan pemerintahan. Pada umumnya demokrasi yang mereka gembar-gemborkan dibarengi dengan hawa nafsu yang mendominasi dan jauh dari kebenaran dan keadilan.
  • Riba. Sistem kapitalisme tegak di atas landasan riba. Sedangkan riba merupakan akar penyakit yang membuat seluruh dunia menderita.
  • Tidak bermoral. Kapitalisme memandang manusia sebagai benda materi. Karena itu manusia dijauhkan dari kecenderungan ruhani dan akhlaknya. Bahkan dalam sistem kapitalisme antara ekonomi dan moral dipisahkan jauh-jauh.
  • Kejam. Kapitalisme sering memusnahkan begitu saja komoditas yang lebih dengan cara dibakar atau dibuang ke laut karena khawatir harga akan jatuh disebabkan banyaknya penawaran. Mereka berani melakukan itu padahal masih banyak bangsa-bangsa yang menjerit kelaparan.
  • Boros. Orang-orang kapitalisme memproduksi barang-barang mewah disertai iklan besar-besaran tanpa peduli kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Sebab yang mereka cari keuntungan belaka.
  • Tidak berperikemanusiaan. Orang kapitalis sering mengusir begitu saja seorang buruh karena alasan tenaganya kurang produktif. Tetapi kekejaman ini mulai diperingan akhir-akhir ini dengan adanya perbaikan dalam tubuh kapitalisme.
Mirip dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme. Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter flat money yang sesungguhnya adalah riba.
Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua, Teori ekonomi kapitalisme tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara negara-negara maju dan negara berkembang.Kelima, terlalaikannya pelestarian sumber daya alam.
Alasan-alasan inilah yang oleh Mahbub al-Haq dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin.

4.    Dampak sistem Ekonomi Kapitalisme
Studi Kasus: “Krisis Finansial Global”
Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak terkecualikan Indonesia. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Pemain-pemain utama Wall Street berguguran, termasuk Lehman Brothers dan Washington Mutual, dua bank terbesar di AS. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok.
Menurut Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn di Washington, seperti dikutip AFP belum lama ini, resesi sekarang dipicu pengeringan aliran modal. Ia menaksir akan terdapat kerugian sekitar 1,4 triliun dolar AS pada sistem perbankan global akibat kredit macet di sektor perumahan AS. "Ini lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 945 miliar dolar AS,". Hal ini menyebabkan sistem perbankan dunia saling enggan mengucurkan dana, sehingga aliran dana perbankan, urat nadi perekonomian global, menjadi macet. Hasil analisis Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu mengingatkan, krisis perbankan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyebabkan resesi. Penurunan pertumbuhan setidaknya dua kuartal berturut-turut sudah bisa disebut sebagai resesi.
Sederet bank di Eropa juga telah menjadi korban, sehingga pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan mereka. Pemerintah Belgia, Luksemburg, dan Belanda menstabilkan Fortis Group dengan menyediakan modal 11,2 miliar euro atau sekitar Rp155,8 triliun untuk meningkatkan solvabilitas dan likuiditasnya. Fortis, bank terbesar kedua di Belanda dan perusahaan swasta terbesar di Belgia, memiliki 85.000 pegawai di seluruh dunia dan beroperasi di 31 negara, termasuk Indonesia. Ketiga pemerintah itu memiliki 49 persen saham Fortis. Fortis akan menjual kepemilikannya di ABN AMRO yang dibelinya tahun lalu kepada pesaingnya, ING. Pemerintah Jerman dan konsorsium perbankan, juga berupaya menyelamatkan Bank Hypo Real Estate, bank terbesar pemberi kredit kepemilikan rumah di Jerman. Pemerintah Jerman menyiapkan dana 35 miliar euro atau sekitar Rp486,4 triliun berupa garansi kredit. Inggris juga tak kalah sibuk. Kementerian Keuangan Inggris, menasionalisasi bank penyedia KPR, Bradford & Bingley, dengan menyuntikkan dana 50 miliar poundsterling atau Rp 864 triliun. Pemerintah juga harus membayar 18 miliar poundsterling untuk memfasilitasi penjualan jaringan cabang Bradford & Bingley kepada Santander, bank Spanyol yang merupakan bank terbesar kedua di Eropa. Bradford & Bingley merupakan bank Inggris ketiga yang terkena dampak krisis finansial AS setelah Northern Rock dinasionalisasi Februari lalu dan HBOS yang dilego pemiliknya kepada Lloyds TSB Group.
Dengan menggunakan analisis “stakeholder”, kita dapat melihat bahwa krisis finansial global yang dimulai dari AS, sesungguhnya merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembangunan ekonomi yang berlebihan di SEKTOR FINANSIAL dibandingkan SEKTOR RIIL yang berakar dari system moneter buatan The Fed. Padahal secara inheren sektor finansial ini sudah bersifat inflatif, karena mengandalkan keuntungannya pada system riba dan bukan karena produktivitas yang riil (yang disebabkan karena kerja, kreativitas dan pemikiran).
Cara populer untuk mengatasi krisis ini, karenanya, jelas dengan memberikan energi yang lebih besar pada sektor riil sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden AS Roosevelt bersama penasihat ekonominya yang terkenal John Maynard Keynes untuk membangun secara massif infrastruktur sektor riil pasca terjadinya depresi besar di AS, di tahun 1930-an.
Secara implisit, gambaran di atas juga menunjukkan bahwa tinggi-rendahnya dampak krisis finansial yang terjadi di AS maupun di luar AS, sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pemangku kepentingan atau “stakeholders” tadi. Pemerintah di luar AS bisa saja meminimalisir dampak krisis bila melakukan “imunisasi” atau “proteksi” yang perlu serta mengantisipasinya dengan melakukan pembangunan sector riil dan peningkatan kesejahteraan publik secara massif.
                             
5.    Kapitalisme di Asia Tenggara
Uraian berikut menggambarkan perkembangan kapitalisme di beberapa negara di Asia Tenggara sebagaimana diungkapkan oleh Mc.Vey.
a.   Perkembangan kapitalis di Thailand
Pada dasarnya Thailand merupakan negara pertanian. Hinga awal tahun 1960-an, sektor pertanian menyumbang sekitar 40% pada Produk  Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 80% penduduk. Dua puluh tahun kemudian, yaitu menjelang akhir tahun 1970-an, terjadi perubahan dimana sektor industri pengolahan unggul dari sektor pertanian, dilihat dari sudut nilai tambah pada harga yang berlaku.Sejalan dengan perkembangan dibidang industri tersebut diikuti pula dengan perubahan besar pada struktur perdagangan. Pada tahun 1985 nilai ekspor tekstil termasuk pakaian jadi jauh melampaui nilai ekspor beras. Hal ini menunjukkan peranan penting yang dimainkan barang pabrik dan menambah besar keyakinan para tokoh ekonomi dan pemimpin politik  Thailand bahwa negaranya sedang memasuki jajaran Negara Industri Baru (NIB) Asia.
Perkembangan kelompok-kelompok kapitalis Thailand dimulai pada masa sebelum perang, yaitu saat integrasi Siam dengan perekonomian dunia melalui penandatanganan pakta dagang dengan Inggris yang dikenal sebagai Traktat Bowring pada tahun 1855. Pada periode ini ekonomi didominasi oleh kelompok-kelompok kapitalis Eropa  dalam industri beorientasi ekspor utama. Perkembangan selanjutnya muncul sumber asosiasi kapitalis dalam bentuk pemilikan modal oleh lembaga Siam yang terdiri dari keluarga kerajaan, birokrat tingkat tinggi, dan lembaga pokok pengurus keuangan untuk kebutuhan pribadi raja.Sumber kewirausahaan ketiga adalah para saudagar Cina perantauan dan lokal.
Para Kapitalis Thailand dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yaitu 1) banker, yang mendirikan usaha mereka pada awal tahun1950-an dan membangunnya menjadi perusahaan raksasa pada tahun 1970-an; 2) kelompok industri, yang berkembang di atas landasan industri substitusi impor (ISI) dan bekerjasama dengan modal asing sesudah tahun 1960-an; dan 3) kelompok agrobisnis, yang muncul pada akhir tahun 1970-an dan meluas dengan cepat dengan cara integrasi ekspor hasil pertanian dengan kegiatan industri.
Sebuah unsur kunci dalam konsentrasi kekuasaan ekonomi oleh para banker adalah hubungan yang erat dengan para pemimpin militer. Para banker tersebut memberikan para pemimpin militer tersebut jabatan ketua, direktur, dan saham bebas. Sebagai imbalannya mereka memperoleh hak istimewa dan keamanan.Meskipun selanjutnya para pemimpin tersebut terguling dengan adanya revolusi 1973, pola-pola bank yang kuat, sangat terkonsentrasi, dan dikuasai satu keluarga, pengaruh mereka masih terus berlangsung hingga sekarang.
Pemerintahan baru yang berkuasa setelah terjadi kudeta militer memiliki sebuah kebijaksanaan untuk mendorong pembangunan industry melalui modal swasta dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan ini dibuat  mengikuti saran bank Dunia pada tahun 1957-1958 yang menyarankan pengembangan perusahaan swata, perbaikan infrastruktur, dan pembuatan rencana ekonomi jangka panjang. Kebijakan yang dibuat dalam rangka mendorong sector swasta antara lain pemerintah memberikan berbagai insentif kepada para penanam modal lokal dan asing, termasuk pembebasan pajak, pembebasan pajak untuk waktu tertentu, kebebasan mengirimkan laba dan memiliki tanah, dan larangan pembentukan serikat buruh. Berbagai kebijakan yang dibuat membawa perkembangan indusri yang mengesankan sepanjang dua puluh tahun berikutnya.Perluasan luar biasa dari sektor industri terutama industri olahan membuka jalan berkembangnya kelompok-kelompok baru kapitalis dalam negeri yang berbasiskan industri olahan.
Meskipun terdapat kemajuan sektor industri olahan, sektor pertanian masih menjadi salah satu penyumbang terbesar pada pertumbuhan ekonomi Thailand selama tiga dasawarsa yang lalu.Keadaan ini disebabkan oleh dua perkembangan utama, yaitu menganekaragamkan hasil pertanian yang dapat dikspor dan pertumbuhan agroindustri berorientasi ekspor.Ekspor hasil-hasil pertanian tersebut sangat membantu pembangunan industri Thailand.Pertama, ekspor tersebut memperbaiki penghasilan petani dan pedagang hasil pertanian lokal, dan arena itu secara tidak langsung membuka pasar pedesaan dalam negeri yang semakin besar bagi industri pengganti impor seperti tekstil, mobil, perabot listrik, dan produk baja sekunder.Kedua, ekspor hasil pertanian yang meningkat membantu membiayai modal dan impor barang-barang antara yang dibutuhkan untuk menunjang industri-industri baru tersebut.Ketiga, hasil ekspor yang meningkat secara langsung menyumbang pada pendapatan negara, berupa pajak dan premi beras. Dengan kata lain, sektor pertanian menjadi sumber anggaran yang penting untuk pryek-proyek pembangunan industri.
Pertumbuhan yang demikian cepat tentu saja menarik perhatian pemerintah dan kaum kapitalis dalam negeri. Pemerintah selanjutnya memberikan prioritas dalam mendorong perkembangan agroindustri dalam rencana kerjanya. Agroindustri juga sangat menarik bagi kaum kapitalis dalam negeri, karena mereka dapat bergerak dalam industri tersebut tanpa harus menghadapi persaingan yang serius dari para investor luar negeri. Sesudah pertengahan 1970-an, baik kelompok industri maupun eksportir hasil pertanian secara aktif memasuki agroindustri, dan membentuk sekelompok kapitalis baru yang berbasiskan agrobisnis berorientasi ekspor. Termasuk diantaranya adalah yang paling menonjol adalah kelompok Charoen Pokphand yang bergerak dibidang pakan ternak dan peternakan ayam broiler.
Perkembangan industri dan kaum kapitalis di Thailand selain karena dukungan pemerintah, juga karena perkembangan tersebut menuntut mereka untuk terus menggunakan teknologi produksi baru, menjaga mutu dengan ketat, memperbaiki sistem pengelolaan agar dapat bersaing di luar negeri. Metode pengelolaan yang lebih rasional: badan pengelola yang tersusun rapi, kepemimpinan dalam tangan wirausahawan muda yang kreatif, dan kemampuan mengimpor teknologi dari luar negeri dan menyesuaikannya dengan keadaan lokal.
b.    Cengkeraman kapitalisme di Indonesia
Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Samuelson & Nordhaus mengatakan, jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme. .
Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme.
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Menurut Rachbini, sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri.
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu.
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu:
1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.
4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.

6.    Penutup
Pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat dengan pembangunan politik yang dijalankan oleh suatu negara. Kebijakan pembangunan membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun demikian pertumbuhan ekonomi semata tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan sebuah pembangunan. Pertumbuhan ekonomi pada negara terbelakang dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk ketergantungan dengan negara maju. Wujud ketergantungan tersebut kini dalam bentuk kesatuan ekonomi kapitalis dunia. Pembangunan politik negara terbelakang memiliki peran dalam menentukan pertumbuhan ekonomi.
Kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi sumber daya alam  dalam rangka pertumbuhan ekonomi, perlu dipertimbangkan kembali, karena eksploitasi yang berlebihan akan menghancurkan lingkungan. Regulasi pemerintah yang pro poor dan proses pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan akan menjamin keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Disisi lain, ekonomi sosialis yang selama ini dianggap sebagai tandingan dari kapitalisme ternyata menurut Wallerstein sama halnya dengan kapitalisme. Negara dipandang sebagai sebuah badan usaha bersama yang menguasai alat produksi dan melakukan eksploitasi. Kapitalisme yang telah melanda seluruh dunia mau tidak mau harus diimbangi dengan mewujudkan sistem ekonomi yang mandiri yang berbasis kerakyatan.  Sehingga dalam hal ini penulis sekiranya dapat memberikan saran bahwa kemandirian ekonomi harus menjadi konsep pembangunan yang dianut negara terbelakang untuk mengimbangi  kapitalisme.
Kapitalisme yang membabi buta akan semakin memperlebar jurang pemisah antara si kaya (sektor privat, corporate) dan si miskin (society). Salah satu cara untuk mengatasi ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran tanggung jawab untuk peduli terhadap masyarakat. Regulasi yang tepat, salah satu diantaranya pemenuhan kewajiban sektor privat melalui Corporate Social Responsibility dapat mendorong kemandirian ekonomi masyarakat. Disamping itu, mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim sehingga perlu regulasi yang tepat untuk mengoptimalkan potensi zakat guna pemberdayaan ekonomi rakyat.  Demikian juga dengan sistem pendidikan, juga harus memasukkan kurikulum yang menonjolkan nilai – nilai budaya (kebersamaan, gotong royong, tolong menolong, kepedulian sosial dll) dan kewirausahaan  yang digali dari kearifan local, sehingga memunculkan pribadi-pribadi  manusia Indonesia yang mempunyai jiwa entrepreneurship, memiliki daya juang tinggi dan mandiri, dengan basis moral dan budaya bangsa.

Sumber bacaan
http://blog.re.or.id/kapitalisme.htm, Kapitalisme. Di down load pada tanggal 27 Desember 2011

http://ariefhilmanarda.wordpress.com/2010/02/24/kapitalisme-sebagai-salah-satu-penyebab-kemiskinan-di-negara-dunia-ketiga/, Kapitalisme Sebagai Salah Satu Penyebab Kemiskinan di Negara Dunia Ketiga. Di down load pada tanggal 27 Desember 2011

http://rianadhivira.wordpress.com/2011/06/14/marx-marxisme-vs-kapitalisme-konsumerisme/ Marx, Marxisme vs Kapitalisme &  Konsumerisme. Di down load pada tanggal 30 Desember 2011

http://arts.anu.edu.au/suarsos/chapters/2.htm, Sifat-Sifat Dasar Sistem Kapitalis. Di down load pada tanggal 25 Desember 2011
Mc Vey,  Ruth, 1998. Kaum Kapitalis Asia Tenggara: Patronase Negara dan Rapuhnya Struktur Perusahaan. Terjemahan oleh A.Setiawan Abadi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Mulyanto, Dede, 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Penerbit CV Ultimus, Bandung
Rachbini, Didik, 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta
Suryono, Agus, 2010. Dimensi-dimensi Prima Teori Pembangunan. Penerbit Universitas Brawijaya Press, Malang




.

TEORI DEPENDENSIA


Disusun Oleh :
Henny P, Khuswantoro A, Sapto B S,  Sunar Wibowo, Nuning Hindriani
TM8/MAP/UB



I.       SEJARAH TEORI DEPENDENSIA
Secara historis, teori Dependensia lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.
Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensia. Teori ini berpendapat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa.
Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini. Tentang imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di negara maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di negara maju.
Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ada dua hal. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara Dunia Ketiga.
Dalam perkembangannya, teori Dependensia terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan Dependensi Baru yang diwakili oleh F.H. Cardoso.

II.      ASUMSI DASAR TEORI DEPENDENSIA KLASIK
Adapun asumsi dasar teori dependensia klasik adalah sebagai berikut:
Ø  Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
Ø  Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga.
Ø  Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
Ø  Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
Ø  Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.

III.     WARISAN PEMIKIRAN
A.    Pemikiran Paul Baran
Paul Baran mengatakan bahwa di dalam interaksi ekonomi internasional terjadi suatu transaksi dimana faktor modal dalam negeri yang memiliki produktivitas terbatas (marginal productivity) dan rendah bergerak ke negara yang memiliki produktivitas tinggi. Hal ini diharapkan terjadinya suatu keseimbangan antara keduanya. Namun, pergerakan faktor modal dari negara maju ke negara miskin, ternyata hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan dari negara miskin tersebut yang merupakan bagian terbesar dari pertambahan pendapatan dari pergerakan faktor modal yang diakibatkan oleh adanya investasi asing tersebut. Dengan demikian, naiknya pendapatan nasional di negara miskin tidaklah dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat di negeri itu karena adanya kepincangan dalam distribusi pendapatan. Keuntungan yang ditimbulkan oleh investasi asing ini hanya dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat melalui proses eksploitasi.
Penggantian sistem hubungan paternalistik dan jasa dengan sistem kapitalistis yang didasarkan atas rasionalitas pasar merupakan langkah utama dalam transformasi masyarakat ke arah kemajuan dan peradaban yang lebih tinggi seperti yang pernah dialami di Eropa Barat. Tetapi penerapan nilai-nilai komersiil dalam tata hubungan sosial dalam masyarakat feodal atau semi feodal ini justru telah meningkatkan proses eksploitasi terhadap golongan lemah yaitu rakyat. Kendatipun demikian, proses eksploitasi yang dilakukan oleh penguasa feodal tidaklah sekejam proses eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik-pemilik modal dalam rangka sistem kapitalis. Sebab proses eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik-pemilik modal dalam sistem kapitalis ini disertai pula dengan proses korupsi dan ketidakadilan dalam setiap struktur pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan sistem kapitalis internasional.
Kepincangan sosial sebagai akibat dari proses eksploitasi ini, telah menimbulkan reaksi-reaksi dari sebagian besar golongan terpelajar dan golongan pengusaha nasional yang melihat dominasi asing sebagai suatu hal yang perlu disingkirkan. Tapi kedua golongan ini ternyata tidak mampu untuk mengadakan perubahan dan perlawanan yang disebabkan antara lain karena:
a.      Kedua golongan ini merupakan suatu golongan yang relatif lemah sebagai akibat keterbelakangan dan kemiskinan dimana mereka berada;
b.      Golongan kelas menengah ini masih cenderung berorientasi kepada nilai-nilai yang dikembangkan oleh pihak yang berkuasa dengan segala vested interest dan status quo-nya, akibatnya mereka sulit menerima ajakan pembaharuan untuk melakukan revolusi sosial yang menyatu dengan golongan bawah; dan
c.      Sebagai akibat dan rasa ketidakmampuan (vulnerabelity) golongan kelas menengah ini untuk melakukan pendobrakan terhadap proses eksploitasi yang dilakukan oleh modal asing dan perangkat sistem yang menyertainya, maka pada akhirnya terpaksa melakukan kerjasama dengan pemilik modal asing dan penguasa lokal setempat yang selama ini dibencinya.
Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan memiliki landasan struktur dan stelsel sosial seperti yang dikemukakan di atas biasanya ditumpukan pada program pertumbuhan produksi untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk. Akibatnya, pertumbuhan produksi disektor pertanian tradisional tidak lagi dapat diharapkan produktivitasnya. Maka kebijaksanaan pertumbuhan ekonominya harus dilaksanakan dengan mengutamakan sektor industri dan sektor ekstraktif lainnya.
Pada kenyataannya, sektor industri tidak tumbuh sehat dilihat dari sudut perkembangan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Sebab sebagian industri-industri ini memproduksi barang-barang kebutuhan elite (barang mewah) karena dianggap lebih menguntungkan. Sementara itu industri-industri ekstraktif barang-barang konsumtif lainnya yang juga turut berkembang, dimana itu merupakan hasil usaha modal asing atau modal campuran dengan pihak domestik. Akibatnya hal ini telah mematikan industri-industri rakyat yang selama ini memproduksi barang-barang sejenis. Kemudian timbul unit-unit monopolistis atau oligopolistis yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang tertentu.
Para industrialis yang beroperasi dalam situasi monopolistis dan oligopolistis ini dengan sendirinya memperoleh keuntungan yang diatas normal. Tingkat keuntungan yang diatas normal ini kemudian oleh pemilik-pemilik modal asing dikirim keluar negeri dan justru tidak dipergunakan untuk investasi dalam negeri yang mempunyai efek tehadap ekonomi rakyat, penyerapan tenaga kerja maupun perluasan spesialisasi dalam masyarakat.
Proses ekonomi dan pertumbuhan sektor-sektor seperti yang disebutkan diatas dipermudah lagi dengan jaringan kerjasama antara pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa. Dan golongan elite inilah yang sangat berkepentingan di dalam melindungi kepentingan pihak asing tersebut. Jadi adanya kemungkinan-kemungkinan usaha pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi yang bersifat merakyat (populis) yakni suatu kebijaksanaan-kebijaksanaan yang secara drastis dapat merubah struktur permintaan efektif yang ada dalam masyarakat dan realokasi sumber-sumber produktif untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi rakyat—dengan sendirinya tidak akan pernah terjadi, karena selalu disabotase oleh tiga serangkai yang disebutkan diatas. Demikian pula, jika suatu ketika misalnya muncul seorang pemimpin yang ingin melaksanakan tindakan-tindakan untuk membela kepentingan rakyat/bawah, kemungkinan mengalami kegagalan karena adanya pendukung-pendukung status quo yang telah berakar kuat.
Oleh karena itu Paul Baran menyarankan perlu adanya penentuan dan pentingnya perubahan struktur sosial dan politik yang menopang setiap pemerintahan dalam bentuk perubahan revolusi. Perubahan ini diatur sedemikan rupa sehingga kepentingan nasional dan kepentingan rakyat banyak secara otomatis terkontrol, dilindungi dan dipertahankan. Dengan kata lain selama perubahan struktur sosial dan politik tidak dapat dilakukan, maka selama itu pula perkembangan ekonomi dan sosial akan mengalarni stagnasi dan tidak pernah terwujud.

B.   Pemikiran Andre Gunder Frank
Gunder Frank memulai pandangannya dengan mengemukakan secara umurn mekanisme terjadinya proses usaha menterbelakangkan negara-negara miskin. Dalam kontak hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara miskin, Gunder Frank membuat kriteria yaitu apa yang disebutnya sebagai negeri-negeri metropolis maju (development metropolitan countries). Hubungan ekonomi diantara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara satelit yang terbelakang ini merupakan aspek utama dalam perkembangan sistem kapitalis internasional. Disini Gunder Frank bermaksud untuk membantah adanya suatu anggapan bahwa perkembangan ekonomi negara-negara miskin akan terjadi sebagai akibat kontak hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara-negara miskin yang menimbulkan difusi modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor-faktor dinamis lainnya kepada negara miskin. Gunder Frank mengemukakan penolakannya dalam penemuan-penemuannya secara historis di Amerika Latin dimana disebutkan bahwa perkembangan yang sehat dan otonom itu akan terjadi pada waktu hubungan metropolis (negara maju) dan satelit (negara pinggiran) tidak ada.
Demikian juga tentang konsepsi thesis “dual society’ dan “dual economic” yang dikembangkan oleh Athur Lewis—disini Gunder Frank menolak dengan tegas anggapan tersebut. Seperti diketahui bahwa thesis dual society mengatakan bahwa dalam negara-negara miskin terdapat dua sektor ekonomi yang terpisah yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Kedua sektor ini dianggap mengalami perjalanan sejarah yang berbeda-beda dan bahkan tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Dalam proses hubungan ekonomi antara negara-negara kapitalis maju dengan negara-negara miskin ternyata hanya sektor modern yang mendapatkan perhatian utamanya, sedangkan sektor tradisional tetap terbelakang dan hanya berputar-putar dalam garis substistensi, bersifat feodalistis dan tetap berada dalam suatu situasi yang disebut pre-capitalist (tidak mengenal ekonomi uang).
Menurut Gunder Frank, hubungan metropolis dan satelit ini menyentuh keseluruhan sektor dalam negara-negara miskin, dan malahan keterbelakangan sektor tradisional ini justru diakibatkan oleh adanya kontak dengan sistem kapitalis dunia yang masuk ke negara-negara miskin melalui sektor modern dalam negara-negara tersebut. Hal demikian disebut sebagai “fronting agent’ dan sistem kapitalis dunia yang melakukan eksploitasi terhadap daerah-daerah atau sektor-sektor yang terbelakang ini. Hasil dan surplus ekonominya kemudian dilempar ke pusat-pusat metropolis dunia.




C.     Pemikiran Theotoneo Dos Santos
Pada dasarnya Dos Santos dalam pemikirannya tentang thesis ketergantungan berpendapat bahwa titik berat proses ketergantungan tidak semestinya merupakan “faktor luar” melainkan harus juga dikaitkan dengan “faktor dalam” yang ada dalam negara-negara miskin ini.
Dos Santos beranggapan bahwa ketergantungan dan efek-efek yang diakibatkannya dalam tata hubungan ekonomi di dalam negeri tidak dapat dinetralisasi hanya dengan melakukan pendekatan isolasi (memutuskan hubungan) seperti yang secara implisit terkandung dalam pemikiran Gunder Frank; tetap harus dapat merubah struktur intern terlebih dahulu dalam setiap usaha untuk memutuskan kaitan ekonomis dengan pihak metropolis luar.
Ini membuktikan bahwa masalah ketergantungan itu sudah berakar di negara-negara miskin. Dalam kaitan inilah maka Dos Santos membagi masalah ketergantungan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.    Ketergantungan kepada kolonial (Colonial Dependence);
2.    Ketergantungan kepada industri dan keuangan (Industrial Financal Dependence);
3.    Ketergantungan kepada teknologi industri (Technological Industrial Dependence).
Menurut Dos Santos ketergantungan kolonial ditandai oleh bentuk hubungan perdagangan eksport pada jaman penjajah dimana kekuatan-kekuatan komersiil yang beraliansi dengan pemerintahan kolonial mendominasi hubungan ekonomi diantara negara-negara penjajah dengan negara-negara jajahan melalui sistem perdagangan monopoli yang dilengkapi dengan sistem perdagangan monopoli penguasaan tanah, pertambangan dan tenaga kerja oleh pemerintahan kolonial di negara-negara jajahan.
Ketergantungan industri dan keuangan ditandai dengan adanya suatu dominasi modal besar di negara-negara penjajah yang mana ekspansinya ke negara-negara jajahan dilakukan dengan investasi dalam produksi bahan-bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi di negara-negara penjajah ini. Struktur produksi di negara-negara jajahan tumbuh untuk melayani eksport komoditi negara penjajah.
Sedangkan ketergantungan kepada teknologi industri berkembang setelah Perang Dunia II yaitu sebagai akibat operasi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasinya disektor-sektor industri untuk memenuhi pasaran di dalam negara-negara terbelakang. Akibatnya hampir seluruh industri-industri baru di negara-negara terbelakang ini secara teknis produksi tergantung pada luar negeri.
Dalam situasi ketergantungan kolonial dan ketergantungan kepada industri dan keuangan, ekonomi dalam negeri di negara-negara jajahan tidak mampu untuk menimbulkan suatu pasaran atau landasan permintaan efektif yang kokoh untuk menopang perkembangan industri di dalam negeri. Ketidakberdayaan ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni:
a.    Sebagian besar pendapatan nasional yang diperoleh melalui eksport digunakan untuk membeli input dari luar negeri, sehingga yang tinggal untuk reinvestasi relatif sangat kecil;
b.    Kaum pekerja dalam proses super eksploitasi sehingga konsumsi mereka relatif terbatas dan tidak dapat menimbulkan permintaan efektif yang berarti.
Sedangkan dalam situasi ketergantungan kepada teknologi industri, kemungkinan menimbulkan investasi-investasi baru di negara-negara terbelakang seluruhnya ditentukan oleh tersedianya devisa untuk membiayai mesin-mesin dan bahan-bahan mentah yang tidak diproses di dalam negeri.
Pembelian mesin-mesin dan input yang diperlukan dari luar negeri oleh negara-negara terbelakang yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kemampuan sektor eksport yang ada untuk menghasilkan devisa, dan sektor sistem monopoli hak patent yang selalu mengakibatkan produsen-produsen mesin cenderung untuk mengalihkan mesin-mesin ini sebagai penyertaan modal mereka dalam proyek-proyek investasi di negara-negara terbelakang ini dan selalu tidak bersedia menjual mesin-mesinnya seperti komoditi biasa.
Untuk mengatasi masalah ini, Dos Santos mengemukakan bahwa diperlukan  pemeliharaan sektor ekspor yang ada untuk memperoleh devisa membiayai dalam program industrialisasi. Sebaliknya jika sektor ekspor ini dikuasai produksinya oleh pihak-pihak asing, maka disini kembali timbul ketergantungan kolonial dalam bentuk baru dengan segala akibatnya baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik.

D.     Pemikiran Samir Amin
Salah satu pandangan Samir Amin dalam menerangkan ketergantungan dan keterbelakangan dari negara-negara miskin adalah masalah konsep pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep pertukaran yang tidak adil ini, menurut Samir Amin menunjukkan bagaimana terjadinya pengalihan surplus dari negara-negara miskin (periphery/negara pinggiran) ke negara-negara maju (centre/negara sentral) sebagai akibat proses perdagangan internasional diantara kedua kelompok negara tersebut.
Konsep pertukaran yang tidak adil tersebut oleh Samir Amin dijelaskan sebagai berikut:
1.    Bahwa akibat oleh adanya rintangan-rintangan dalam proses pertukaran yang tidak adil diantara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju;
2.    Bahwa akibat masuknya modal asing dengan mendirikan industri-industri baru, maka mereka sangat berorientasi keluar negeri (Extravert Orientation). Sehingga negera-negara terbelakang, khususnya yang menyangkut ekonomi rakyat, kerajinan rakyat dan industri-industri kecil rakyat lainnya menjadi gulung tikar dan hancur;
3.    Walaupun ada pengembangan industri-industri pengganti import dan timbulnya spesialisasi baru di negara-negara terbelakang sebagai akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan asing (mancanegara) di negara-negara terbelakang, namun negara terbelakang ini pada hakekatnya berada di atas landasan yang sama seperti yang sudah dan masih dialaminya sebagai produsen dan pengekspor bahan-bahan mentah primer dalam keadaan ketergantungan dan mengekspor barang-barang industripun juga dalam keadaan ketergantungan;
4.    Distorsi keadaan tersebut, menimbulkan peningkatan yang menyolok dalam jumlah yang bukan merupakan hasil evolusi dan struktur permintaan efektif didalam negeri maupun hasil evolusi dan kenaikan produktivitas;
5.    Proses spesialisasi internasional yang tidak adil, juga menimbulkan distorsi di negara-negara terbelakang dalam bentuk penggunaan teknik-teknik produksi modern yang padat modal untuk kegiatan-kegiatan yang ringan. Hal demikian disebabkan oleh karena adanya penentuan yang datang dari pihak luar yaitu pemilik-pemilik modal asing yang datang menginvestasikan modal mereka dalam membina industri-industi ringan ini. Umumnya pemilik-pemilik modal ini datang membawa mesin-mesin sebagai penyertaan mereka dalam perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan di negara-negara terbelakang. Disamping adanya pemikiran bahwa penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih banyak dalam proses produksi akan tidak menjurus kepada pemupukan surplus yang tinggi dalam waktu singkat untuk digunakan dalam proses reinvestasi;
6.    Dalam konteks hubungan ekonomi dengan negara-negara maju dan dengan modal asing yang banyak beroperasi di negara-negara terbelakang, maka kebocoran (leakage) yang berbentuk import dan hoarding (simpanan yang tidak produktif) bukanlah merupakan faktor-faktor yang menentukan kecilnya pengganda (multiplier) di negara-negara terbelakang ini;
7.    Manifestasi dan keterbelakangan negara-negara terbelakang tidaklah diukur dari rendahnya produksi per kepala, melainkan dicerminkan oleh adanya ciri-ciri struktural di negara-negara ini. Ciri-ciri struktural tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a.    Adanya ketidakmerataan yang parah dalam distribusi industri dan produksi serta adanya suatu sistem harga yang dipaksakan dari luar yang menimbulkan distorsi dan kepincangan distribusi pendapatan dalam negeri;
b.    Adanya situasi yang tidak saling terkait antar sektor sebagai akibat penyesuaian produksi terhadap kebutuhan negara-negara maju sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi tidak menyebar keseluruh sistem ekonomi. sehingga pertumbuhan ekonomi mengarah pada autocentric growth dan autodynamic growth;
8.    Bahwa perkembangan sistem kapitalis di negara-negara terbelakang (kapitalisme pinggiran/peripheral capitalism) sama sekali berbeda dengan perkembangan sistem kapitalis di negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan sistem kapitalis di negara-negara terbelakang ditentukan oleh sistem prakapitalis yang ada sebelum sistem kapitalis (baru) masuk dalam jaringan sistem kapitalis dunia yang kemudian menimbulkan sistem kapitalis yang terbatas dan penuh ketergantungan keluar, dimana sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan politik dengan pihak luar atau hubungan antar kelas di dalam negeri.
Dalam memberikan sanggahan (komentar) terhadap teori ketergantungan (dependensia) ini, penulis mencoba menggunakan beberapa pandangan utama yang dilontarkan oleh para pemikir sosial ekonomi antara lain sebagai berikut:
1.      Bahwa tesis ketergantungan ini sangat menitikberatkan pada hubungan pertukaran antara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju dan tidak memberikan perhatian yang cukup lengkap terhadap sifat hubungan antara kelas di dalam negara tersebut yang mengakibatkan keterbelakangan sebagian besar masyarakatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gunder Frank bahwa sifat dari cara berproduksi di negara-negara dunia ketiga sebahagian besar ditentukan oleh hubungan pertukaran dan bukan oleh hubungan produksi. Menurut Ranjit Sao disini Frank terlampau menitikberatkan aspek siapa yang pada akhirnya memperoleh sebahagian besar dari surplus ekonomi dan bagaimana surplus ekonomi ini ditarik, tanpa mempersoalkan secara lengkap proses yang sesungguhnya berjalan dalam menghasilkan suplus itu. Dengan kata lain Frank mengesampingkan kondisi-kondisi dimana proses produksi berlangsung dan dia hanya menitikberatkan pada syarat-syarat yang menjadi dasar pertukaran hasil produksi. Demikian juga halnya dengan aliansi-aliansi yang menyebabkan keterbelakangan kelas yang mewakili rakyat. Maka menurut pandangan Ranjit Sao disebabkan oleh adanya: Aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi Alliansi kelas borjuasi dengna kelas kapitalis asing; Aliansi kelas tuan tanah feodal dengan kapitalis asing. Aliansi-aliansi ini haruslah dilihat secara kumpulan elemen (block of elements) dan bukanlah secara pasangan elemen (pair of elements). Atau dengan maksud lain bahwa Ranjit Sao ingin mengatakan bahwa keseluruhan realitas sosial dan hubungan kelas yang dikemukakan disini, jeas bukan merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan proses yang harmonis dalam hubungan ekonomi yang kompetitif, melainkan menuju kepada suatu keseimbangan yakni menimbulkan ketidakmerataan dalam perkembangan situasi keterbelakangan.
2.    Sanggahan lain diberikan oleh Peter Evans (1979) yang melihat bahwa Brazil (sebagai salah satu negara yang terbelakang) telah terjadi suatu “Development” atau suatu proses industrialisasi, tetapi bukannya suatu proses pembangunan yang otonom melainkan suatu pembangunan dengan ketergantungan (dependent development). Tentunya disini Peter Evans bermaksud menolak pandangan teori dependensia yang mengatakan bahwa kondisi sosial ekonomi dan politik yang terdapat pada negara-negara berkembang atau dunia ketiga bukannya disebabkan karena ketidakberkembangan keadaan atau tak berubahnya dan keadaan asli melainkan merupakan hasil atau akibat dari proses sejarah dunia yang sama. yaitu sejarah atau perkembangan ekonomi negara-negara industri. Dengan kata lain pendapat ini terlalu menitikberatkan analisanya kepada kekuatan ekonomi luar yang dinilai hebat dan sangat menentukan. Sebaliknya terlalu meremehkan kemampuan kelompok borjuasi lokal (lumpen bourgeoisie). Dalam bukunya Evans bertitik tolak dari suatu hipotesa bahwa dewasa ini terdapat sejumlah negara yang secara jelas tidak bisa dikatakan Sebagai mata-mata daerah pinggiran. Negara-negara itu yang disebut sebagai “semi periphery” ternyata telah mampu mengontrol surplusnya sendiri. Dan atas dasar itu mulai melakukan proses industrialisasnya, Walaupun tidak dalam pola seperti yang terjadi di negara-negara core atau centre. Dalam proses ini Evans melihat pentingnya peranan dan struktur elite seperti yang terbentuk di Brazil. Dalam akhir analisanya Evans berpendapat bahwa pola industriaIis semacam itu memang tidak mampu memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya dari masyarakat. Disini Evans menyebut terjadinya suatu “Deformasi Struktural” (Structural Deformation) dalam perekonomian pinggir sebagai contoh, teknologi yang dalam jumlah besar diimport dari pusat memang tidak dirancang untuk menyerap kelebihan tenaga kerja petani yang menganggur dan rmenga!ami proses marginalisasi dalam arus modernisasi pertanian. Produk-produk yang dirancang di pusat dan diasimilasikan dipinggiran adalah merupakan barang sekunder, bahkan juga dinilai mewah dalam konteks masyarakat pinggiran, disamping pola produksinya menggunakan bahan-bahan yang langka dan menimbulkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber untuk kepentingan kelompok tertentu dan menyimpang dari kebutuhan konsumsi massa. Pola semacam ini juga yang menyebabkan timbulnya proses marginalisasi produsen kecil dan eksekusi sebagian besar masyarakat sebagai konsumen barang-barang industri. Dengan demikian, menurut Evans kontradiksi yang lebih essensial tidak terdapat didalam hubungan diantara kekuatan segitiga, melainkan antara elite dan massa. Hal ini diekspresikan dalam gejala, disatu pihak terjadi proses internasionalisasi, sentralisasi dan konsentrasi kekuatan kapital monopoli, dan dilain pihak terjadi proses marginalisasi, eksekusi dan berkembangnya kemiskinan yang semakin mendalam pada lapisan masyarakat bawah.

IV.   PERBEDAAN TEORI MODERNISASI DAN TEORI DEPENDENSIA
Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya.
Teori ketergantungan merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori ketergantungan memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori ketergantungan ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa kesejahteraan bagi masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab kegagalan kapitalisme adalah penguasaan akses terhadap sumberdaya dan faktor produksi menyebabkan eksploitas terhadap kaum buruh yang tidak memiliki akses. Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran kelas dan perjuangan merebut akses sumberdaya dan faktor produksi untuk menuju tatanan masyarakat tanpa kelas.
Teori ketergantungan lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori ketergantungan mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori ketergantungan lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan merugikan Dunia Ketiga. Negara sentral di Barat selalu dan akan menindas negara Dunia Ketiga dengan selalu berusaha menjaga aliran surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral.
Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan spesifik dan juga merupakan persoalan sosial politik. Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbelakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori ketergantungan memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Bagi Frank, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme.
Prebisch berbicara tentang aspek ekonomi dari persoalan ini, yakni ketimpangan nilai tukar. Menurut Presbisch, negara-negara yang terbelakang harus melakukan industrialisasi, jika ingin membangun dirinya. Industrialisasi ini dimulai dengan industri substitusi impor. Barang-barang industri yang tadinya diimpor, harus diproduksi di dalam negeri. Frank lebih berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negara-negara satelit. Bagi Frank, keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi yang melahirkan sistem sosialis. Hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi negara satelit. Tidak mungkin ada perkembangan di negara satelit selama negara ini masih berhubungan dan menginduk kepada negara metropolis. Namun, Dos Santos berkata lain, Dia menyatakan bahwa negara pinggiran atau satelit bisa juga berkembang, meskipun perkembangan ini merupakan perkembangan yang tergantung, perkembangan ikutan. Impuls dan dinamika perkembangan ini tidak datang dari negara satelit tersebut, tetapi dari negara induknya.
Di dalam teori ketergantungan ini sendiri, pada pokoknya ada dua pendapat yang berbeda, yakni: Frank beranggapan bahwa struktur ketergantungan yang ada di negara satelit tidak akan memungkinkan negara ini melakukan pembangunan, khususnya industrialisasi. Sedangkan Dos Santos beranggapan bahwa hal tersebut mungkin, meskipun pembangunan dan industrialisasi yang terjadi merupakan bayangan dari apa yang terjadi di negara-negara pusat. 
Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbalakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.

No
Elemen Perbandingan
Teori Modernisasi Klasik
Teori Dependensi Klasik
1.
Persamaan fokus perhatian (keprihatinan).
·       Pembangunan dunia ketiga.
·         Sama.
2.
Metode.
·       Sangat abstrak.
·       Perumusan model-model.
·         Sama.
·         Sama.
3.
Dwi-kutub struktur ekonomi.
·       Tradisional dan modern.
·       (maju).
·         Sentral (metropolis).
·         Pinggiran (satelit).
4.
Perbedaan warisan teoritis.
·       Teori evolusi.
·       Teori fungsionalisme.
·         Program KEPBBAL.
·         Marxis ortodoks.
5.
Hubungan internasional.
·       Saling menguntungkan.
·         Merugikan negara dunia ketiga.
6.
Masa depan dunia ketiga.
·       Optimis.
·         Pesimis.
7.
Kebijaksanaan pembangunan (pemecahan masalah).
·       Lebih mendekatkan keterkaitan negara maju.
·         Mengurangi keterkaitan dengan negara sentral revolusi sosialis.


V.   IMPLIKASI TEORI DEPENDENSIA KLASIK
Secara filosofis, teori dependensia menghendaki untuk meninjau kembali pengertian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensia, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di  negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.


VI.   PERKEMBANGAN TEORI DEPENDENSIA
Teori dependensia baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimilki oleh teori dependensi klasik. Teori ini tidak lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan yang berlaku umum dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal, lebih dari itu, teori dependensia baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan, ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini, lebih dikonsepkan sebagai sesuatu yang memiliki batas ruang dan waktu yang karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain, situasi ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan yang spesifik. Lebih dari itu, faktor internal memiliki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan karenanya ketergantungan juga merupakan persoalan politik sosial.
Dengan perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori dependensia baru ini telah melahirkan berbagai kategori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teori dependensi klasik seperti misalnya adalah ”pembangunan yang bergantung”, ”negara birokratik otoriter”, ”aliansi tiga kelompok” dan ”pembangunan yang dinamis”. Sebagai akibatnya, pengertian-pengertian baru ini telah mampu membantu membuka jendela untuk melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisa baru, yang pada gilirannya telah menghasilkan tidak sedikitnya karya penelitian baru yang menguji secara lebih teliti persoalan pembangunan dan ketergantungan di negara dunia ketiga.

Perbedaan Teori Dependensia Klasik dan Teori Dependensia Baru
No
Indikator
Teori Dependensia klasik
Teori Dependensia baru
1.
Persamaan pokok perhatian
·     Negara dunia ketiga
·       Sama
2.
Level analisa
·     Nasional
·       Sama
3.
Konsep pokok implikasi
·     Sentral-pinggiran
·     Ketergantungan
·       Sama
4.
Kebijaksanaan
·     Ketergantungan bertolak-belakang dengan pembangunan
·       Sama
5.
Perbedaan metode
·     Abstrak pola umum
·     ketergantungan
·       Historis-struktural situasi konkrit ketergantungan
6.
Faktor pokok
·     Eksternal kolonialisme dan ketidakseimbangan nilai tukar
·       Internal negara dan konflik kelas
7.
Ciri-ciri politik ketergantungan
·     Fenomena ekonomis
·       Fenomena sosial
8.
Pembangunan dan ketergantungan
·     Bertolak-belakang
·     Hanya menuju pada keterbelakangan
·       Koeksistensi:
·       Pembangunan yang bergantung


VII.   DEPENDENSIA DAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Pada pertengahan 1960-an di dunia ketiga sedang menggejala mengundang masuknya modal asing dalam bentuk Multinational Corporations (MNC) dengan tujuan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonominya, menciptakan lapangan kerja dan meraih teknologi. Kehadiran modal asing dalam bentuk Multinational Corporations diharapkan menumbuhkan/melahirkan usaha-usaha lain (forward linkage and backward linkage), yang juga akan meningkatkan daya beli masyarakat (trickle down effect).  Model pembangunan dengan teori modernisasi yang pernah berhasil diterapkan misalnya di Jepang setelah perang dunia kedua, hendak diulangi di dunia ketiga.  Nilai yang kontekstual diangkat menjadi universal. Sejarah ditransformasi menjadi ideologi atau menjadi hukum ahistoris.
Termasuk di  Indonesia, hal ini  ditandai dengan adanya penetrasi finansial, teknologi dan penetrasi poltik serta budaya.  Melalui penetrasi finansial, teori dependesi masuk dengan liberalisasi sektor ekonomi yang ditandai dengan masuknya FDI dan MNC yang mulai beroperasi di Indonesia dan penetrasi politik serta budaya juga telah dimasuki oleh budaya asing khususnya budaya barat, baik itu melalui film, gaya hidup, bahan bacaan dan lain-lain.
Pada bulan Januari 1967 Pemerintah Orde Baru mengambil keputusan penting dengan mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (the Foreign Capital Investment Law No. 1 of January 1967), maka investor dari berbagai negara mulai masuk ke Indonesia. Apa yang mendasari masuknya MNC ke Indonesia? Pada umumnya keputusan sebuah MNC menanam modalnya di negara sedang berkembang didorong oleh keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan kemungkinan investasi di negaranya sendiri atau di negara maju yang lain. Keuntungan relatif dari investasi seperti itu tergantung dari faktor-faktor ekonomi maupun politik. Karena itu baik faktor ekonomi maupun politik dipertimbangkan bersama-sama. Sehubungan dengan ini, kiranya tepat pendapat Robert Gilpin:
“Direct investments are intended to establish a permanent source of income or supply in the foreign economy; consequently, they create economic and political relationships of a lasting andsignificant character”

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sesungguhnya dihadapkan pada dua pilihan: apakah mereka memilih ketergantungan kepada modal dan bantuan asing atau menempuh jalan mereka sendiri dalam proses menuju swadaya nasional berdasarkan keikutsertaan rakyat secara aktif dan sadar dalam proses pembangunan. Apabila jalan pertama yang ditempuh, yakni pembangunan yang bergantung kepada asing, seperti yang ditempuh Indonesia pasca 1966, maka akibat yang terjadi sudah jelas, yakni polarisasi yang makin tajam antara si kaya dan si miskin, serta kesediaan untuk memobilisasi sumber-sumber nasional guna kebutuhan asing. Dalam situasi seperti itu menurut  Adi Sasono  “stabilitas hanya bisa ditegakkan melalui pengetatan politik, karena keresahan sosial dan kemiskinan massal akan merupakan biaya sosial yang harus dibayar bagi pertumbuhan ekonomi di sektor modern dalam rangka integrasi dengan dunia kapitalisme internasional”.
Sedangkan pembahasan mengenai industri-industri di Indonesia, terlihat jelas bahwa walaupun terjadi perkembangan, namun tetap ada ketergantungan dan nampaknya sejalan dengan teori Associated-Dependent Development-nya Fernando Hendrique Cardoso. Dalam teori ini, “pemilikan” industri nampaknya tidak penting, apakah dimiliki pihak asing, berbentuk perusahaan patungan atau perusahaan domestik yang bergabung dengan perusahaan-perusahaan asing, tetapi penekanan justru pada siapa yang mengambil keputusan, umumnya berada di luar negeri.
Dalam kasus Indonesia, ketergantungan utang yang terlalu  besar dinilai mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan ekosistem  hutan. Benarkah demikian? Argumen pemerintah berutang selama ini adalah adanya kebutuhan investasi yang besar untuk pembangunan ekonomi  dan sosial dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan dan memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat yang terus  meningkat.
Pada saat yang sama, pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber dana untuk melaksanakan agenda  pembangunan tersebut. Dalam konteks ini, utang diperlukan untuk menutup kesenjangan yang ada antara kebutuhan  investasi dan kemampuan mobilitas dana di dalam negeri (saving investment gap). Mereka yang mendukung utang cenderung hanya melihat manfaat, tanpa melihat biaya politik dan dampak utang terhadap  sosial ekonomi serta ekosistem. Bagi mereka, sah-sah saja kita berutang selama utang dipakai untuk tujuan produktif,  sebagaimana tecermin dari meningkatnya kapasitas perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan juga kapasitas membayar utang.
Sementara mereka yang menentang utang melihat adanya kesenjangan antara janji manfaat dan konsekuensi mahal  yang harus ditanggung bangsa akibat utang. Mereka melihat tak kunjung berubahnya paradigma kebijakan berutang  pemerintah dan tak adanya komitmen untuk menciptakan kemandirian ekonomi, seperti diamanatkan oleh para pendiri  bangsa (founding fathers).
Padahal, banyak contoh negara yang mampu berdiri sendiri menjadi negara maju dan bermartabat tanpa terus-menerus  bergantung pada utang kendati mereka tak memiliki sumber daya melimpah seperti Indonesia. Juga banyak contoh  negara yang selama ini menjadi langganan krisis utang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi perekonomian yang jauh  lebih sehat setelah memperoleh penghapusan utang. Jika dicermati, kekhawatiran berbagai pihak menyangkut utang dilandasi sejumlah hal antara lain: ketergantungan  pembiayaan pembangunan pada utang yang tinggi serta konsekuensinya bagi kemandirian Indonesia dalam menetapkan  kebijakan yang tepat buat mereka sendiri tanpa didikte kepentingan kreditor.
Stok utang yang terus membengkak secara nominal kendati secara rasio terhadap PDB angkanya menurun.  Utang  Rp 1.700 triliun lebih tahun ini memang bukan yang terbesar dalam sejarah. Total utang Indonesia pernah mencapai Rp  2.100 triliun pasca krisis 1997/1998 antara lain karena adanya beban biaya restrukturisasi perbankan yang mencapai Rp  650 triliun lebih, tetapi situasi waktu itu bisa dikatakan tak normal.
Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN dan generasi mendatang karena menyedot  anggaran pembangunan dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk  membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah  terus dipaksa menerbitkan utang baru (gali lubang tutup lubang). Pada masa Orde Baru, seperti diungkapkan Alm Prof Soemitro Djojohadikusumo, 30 persen utang dikorupsi sehingga  kemudian muncul istilah utang najis (odiuos debt) dan desakan untuk meminta penghapusan utang. Pasca-Orde Baru,  banyak utang yang sudah dibuat dan dikenai commitment fee mahal ternyata tak dicairkan sehingga jadi beban ekonomi.  Hanya sekitar 44 persen utang yang akhirnya terserap.
Kini, meskipun rezim utang sudah lebih terbuka (utang tak lagi dianggap sebagai sumber penerimaan negara seperti  pada era Orde Baru) dan sudah ada apa yang disebut ”manajemen risiko utang”, kita masih melihat begitu gampang  pemerintah membuat utang baru tanpa memikirkan bebannya bagi generasi mendatang. Padahal, tanpa tambahan utang  baru pun, utang sekarang ini baru akan lunas 40 tahun lagi.
Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB sejak tahun 2000 (sumber detik.com):
·         Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
·         Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
·         Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
·         Tahun 2003: Rp 1.232,5 triliun (61%)
·         Tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (57%)
·         Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
·         Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
·         Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
·         Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
·         Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
·         Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
·         November 2011: Rp 1.816,85 triliun (28,2%)

VIII.  DAMPAK DEPEDENSI UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
BI dalam kajian stabilitas keuangan 2008  pernah mengingatkan resiko dari kecenderungan meningkatnya tekanan  utang dengan terus meningkatnya stok utang luar negeri. Yang mencemaskan, peningkatan juga terjadi pada utang  jangka pendek. Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan  karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan pada SBI dan SUN yang jumlahnya  cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat  berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul  karena besarnya pembayaran utang luar negeri. Berbagai desakan untuk dilakukannya moratorium utang, baik luar negeri maupun dalam negeri, menunjukkan  masyarakat sudah lelah dengan utang. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk  mengerem utang.
Pernyataan pejabat bahwa perekonomian akan stagnan tanpa utang atau pernyataan untuk tak alergi terhadap utang  menyiratkan posisi utang yang bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah menjadi kebutuhan. Itu sekaligus tak adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu membawa perekonomian mandiri tanpa terus  bergantung pada utang. Selama ini definisi pemerintah soal berkurangnya ketergantungan utang adalah rasio utang terhadap PDB yang terus  menurun dan digantikannya peran dominan utang luar negeri oleh utang dalam negeri. ”Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan  defisit dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan  pada kemampuan dalam negeri,” ujar Anggito Abimanyu. Pemerintah,  punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, mulai dari penerbitan, pelunasan,  pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, hingga peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu  utang tak akan terjadi.
Ada beberapa strategi untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri yaitu:
1.      Meningkatkan penerimaan Negara melalui, penggalian potensi penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan dan jasa kementerian dan lembaga ditingkatkan dengan melakukan langkah-langkah penertiban dan perbaikan administrasi PNBP, penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PNBP, serta penyesuaian tarif dan peninjauan atas cakupan dan fleksibilitas penggunaannya;
2.      Peningkatan penerimaan negara dari pajak, cukai, dan PNBP;
3.      Penerapan manajemen resiko  terhadap pengajuan utang baru;
4.      Mengurangi ketergantungan pada utang bisa dilakukan dengan lebih banyak memobilisasi sumber dana dalam negeri  non-utang dan menekan kebocoran, terutama kebocoran di APBN;
5.      Menekan rasio utang terhadap PDB saja tak cukup. Harus ada perubahan paradigma dan langkah kebijakan lebih radikal  menyangkut utang. Termasuk di antaranya, mengurangi stok utang yang ada secara nominal (usulan lebih radikal bahkan menghendaki penghapusan utang) sehingga bisa mengurangi kerentanan ekonomi terhadap guncangan krisis dan dana untuk  membayar kembali utang bisa dipakai guna memperbaiki kesejahteraan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Heryanto, J, 2003. “Peranan Multinational Corporations Dalam Industrialisasi Di Indonesia Pada Era Orde Baru”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 5, No. 1, Maret 2003: 17 – 24.




Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Suryono, Agus. 2010. Dimensi-dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang: UBPress.

Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan dalam Perspektif Teori Ilmu Sosial. Malang: UMPress.

Teori Dependesia. Didownload melalui http://prari007luck.wordpress.com/2008/10/08/teori-dependensi/ tanggal 25 Desember 2011.

Todaro, Michael P. 2000. Ekonomi untuk Negara Berkembang: Suatu Pengantar tentang Prinsip-prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan 2. Jakarta: Bumi Aksara.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.