Disusun Oleh :
Henny
P, Khuswantoro
A, Sapto
B S,
Sunar Wibowo, Nuning Hindriani
TM8/MAP/UB
I. SEJARAH
TEORI DEPENDENSIA
Secara
historis, teori Dependensia lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi
membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian
Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor
internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara
Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam
keterbelakangan.
Paradigma
inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensia. Teori ini berpendapat bahwa
kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan
disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak
ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar
yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur
tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga.
Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak
berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi,
namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid
dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan
oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan
ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia
Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Teori Dependensi kali pertama
muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan
jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United Nation
Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an.
Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian
di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi
yang telah terbukti berhasil di Eropa.
Teori Dependensi juga lahir
atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang pembangunan
yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang
kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini. Tentang imperialisme, kaum
Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya
sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan
Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat
penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik berpendapat bahwa
revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian revolusi proletar.
Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di negara terbelakang
pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di negara
maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara
pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan
kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat
produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di negara maju.
Bantahan
teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ada dua hal. Pertama,
negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda
dengan dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara
kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai
kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan
campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara
pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara maju
tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang
diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan
kedaulatan negara Dunia Ketiga.
Dalam
perkembangannya, teori Dependensia terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik yang diwakili
oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan Dependensi Baru yang
diwakili oleh F.H. Cardoso.
II. ASUMSI DASAR TEORI DEPENDENSIA
KLASIK
Adapun
asumsi dasar teori dependensia klasik adalah sebagai berikut:
Ø Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang
sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi
berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga
sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
Ø Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan
oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya
tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan
semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi
dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja
internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan
negara Dunia Ketiga.
Ø Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai
masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia
Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami
kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
Ø Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak,
mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya,
satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
Ø Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang
mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan
di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat
saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi
dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang
otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi
yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.
III.
WARISAN PEMIKIRAN
A. Pemikiran
Paul Baran
Paul Baran mengatakan bahwa di dalam interaksi ekonomi
internasional terjadi suatu transaksi dimana faktor modal dalam negeri yang memiliki produktivitas terbatas (marginal
productivity) dan rendah bergerak ke negara yang memiliki produktivitas tinggi. Hal ini
diharapkan terjadinya suatu keseimbangan antara
keduanya. Namun, pergerakan faktor modal dari negara maju ke negara miskin, ternyata hanyalah bertujuan untuk menyedot
keuntungan dari
negara miskin tersebut yang merupakan bagian terbesar dari pertambahan pendapatan dari
pergerakan faktor modal yang diakibatkan oleh adanya investasi asing tersebut. Dengan demikian,
naiknya pendapatan nasional di negara miskin tidaklah dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat di negeri itu karena adanya kepincangan dalam
distribusi pendapatan. Keuntungan
yang ditimbulkan oleh investasi asing ini hanya dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat
melalui proses eksploitasi.
Penggantian sistem hubungan paternalistik dan jasa
dengan sistem kapitalistis yang didasarkan atas rasionalitas pasar merupakan
langkah utama dalam transformasi masyarakat ke arah kemajuan dan peradaban yang lebih tinggi seperti
yang pernah dialami di
Eropa Barat. Tetapi penerapan nilai-nilai komersiil dalam tata hubungan sosial
dalam masyarakat feodal
atau semi feodal ini
justru telah meningkatkan proses eksploitasi terhadap golongan lemah yaitu
rakyat. Kendatipun demikian, proses eksploitasi yang dilakukan oleh penguasa feodal
tidaklah sekejam proses eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik-pemilik modal dalam rangka sistem kapitalis. Sebab proses eksploitasi
yang dilakukan
oleh pemilik-pemilik modal dalam sistem kapitalis ini disertai pula dengan proses korupsi dan
ketidakadilan dalam setiap struktur pemerintahan yang mengabdi kepada
kepentingan pemilik modal dan sistem kapitalis internasional.
Kepincangan sosial sebagai akibat dari proses eksploitasi ini, telah menimbulkan reaksi-reaksi dari sebagian besar golongan terpelajar dan golongan
pengusaha nasional yang melihat
dominasi asing sebagai suatu hal yang perlu disingkirkan. Tapi kedua golongan ini ternyata tidak mampu untuk mengadakan perubahan dan
perlawanan yang disebabkan antara lain karena:
a. Kedua golongan ini merupakan suatu golongan yang relatif lemah sebagai akibat keterbelakangan dan kemiskinan dimana mereka
berada;
b. Golongan kelas menengah ini masih cenderung berorientasi kepada nilai-nilai yang
dikembangkan oleh pihak yang berkuasa dengan segala vested interest dan status
quo-nya, akibatnya mereka sulit menerima ajakan pembaharuan untuk melakukan
revolusi sosial yang menyatu dengan golongan bawah;
dan
c.
Sebagai akibat dan rasa ketidakmampuan (vulnerabelity)
golongan kelas menengah ini untuk melakukan pendobrakan terhadap proses
eksploitasi yang dilakukan oleh modal asing dan perangkat sistem yang
menyertainya, maka pada akhirnya terpaksa melakukan kerjasama dengan pemilik modal asing dan penguasa lokal
setempat yang selama ini dibencinya.
Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan memiliki landasan struktur dan stelsel sosial seperti yang
dikemukakan di atas biasanya
ditumpukan pada program pertumbuhan produksi untuk mengimbangi pertumbuhan
penduduk. Akibatnya, pertumbuhan produksi disektor pertanian tradisional tidak lagi
dapat diharapkan produktivitasnya. Maka kebijaksanaan pertumbuhan ekonominya harus dilaksanakan dengan mengutamakan sektor industri dan sektor
ekstraktif lainnya.
Pada
kenyataannya, sektor industri tidak tumbuh sehat dilihat dari sudut perkembangan ekonomi rakyat secara keseluruhan.
Sebab sebagian industri-industri
ini memproduksi barang-barang kebutuhan elite (barang
mewah) karena dianggap lebih menguntungkan. Sementara itu industri-industri
ekstraktif barang-barang konsumtif lainnya yang juga turut berkembang, dimana
itu merupakan hasil usaha modal asing atau modal campuran dengan pihak
domestik. Akibatnya hal ini telah mematikan industri-industri rakyat yang selama ini memproduksi barang-barang sejenis. Kemudian timbul unit-unit monopolistis atau oligopolistis yang
dikuasai oleh sekelompok orang-orang tertentu.
Para industrialis yang beroperasi dalam situasi
monopolistis dan oligopolistis
ini dengan sendirinya
memperoleh keuntungan yang diatas normal. Tingkat keuntungan yang diatas normal
ini kemudian oleh pemilik-pemilik modal asing dikirim keluar negeri
dan justru tidak dipergunakan
untuk investasi dalam negeri yang mempunyai efek tehadap ekonomi rakyat,
penyerapan tenaga kerja maupun perluasan spesialisasi dalam masyarakat.
Proses ekonomi dan pertumbuhan sektor-sektor seperti
yang disebutkan diatas dipermudah lagi dengan jaringan kerjasama antara pemodal
asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa. Dan golongan elite inilah yang
sangat berkepentingan di dalam melindungi kepentingan
pihak asing tersebut. Jadi adanya
kemungkinan-kemungkinan usaha pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi yang bersifat
merakyat (populis) yakni suatu kebijaksanaan-kebijaksanaan yang secara drastis dapat merubah struktur permintaan efektif yang ada
dalam masyarakat dan realokasi sumber-sumber produktif untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan ekonomi rakyat—dengan sendirinya tidak akan pernah terjadi, karena
selalu disabotase oleh tiga serangkai yang disebutkan diatas. Demikian pula, jika suatu ketika
misalnya muncul
seorang pemimpin yang ingin melaksanakan tindakan-tindakan untuk membela kepentingan rakyat/bawah,
kemungkinan mengalami
kegagalan karena adanya pendukung-pendukung status quo yang telah berakar kuat.
Oleh karena itu Paul Baran menyarankan perlu adanya penentuan dan
pentingnya perubahan struktur sosial dan politik yang menopang setiap
pemerintahan dalam bentuk perubahan revolusi. Perubahan ini diatur sedemikan rupa sehingga kepentingan nasional
dan kepentingan rakyat banyak secara otomatis terkontrol, dilindungi dan
dipertahankan. Dengan kata lain selama perubahan struktur sosial dan politik tidak dapat
dilakukan, maka selama itu pula perkembangan ekonomi dan sosial akan mengalarni
stagnasi dan tidak pernah terwujud.
B. Pemikiran Andre Gunder Frank
Gunder Frank memulai pandangannya dengan mengemukakan
secara umurn mekanisme terjadinya proses usaha menterbelakangkan negara-negara miskin. Dalam kontak hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara miskin, Gunder Frank membuat kriteria yaitu apa yang disebutnya
sebagai negeri-negeri metropolis maju (development metropolitan countries). Hubungan ekonomi
diantara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara satelit yang terbelakang ini merupakan aspek utama dalam perkembangan sistem
kapitalis internasional. Disini Gunder Frank bermaksud untuk membantah adanya
suatu anggapan bahwa perkembangan
ekonomi negara-negara miskin akan terjadi sebagai akibat kontak hubungan
ekonomi antara negara maju dengan negara-negara miskin yang menimbulkan difusi
modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor-faktor dinamis lainnya
kepada negara miskin. Gunder Frank mengemukakan penolakannya dalam penemuan-penemuannya secara historis di Amerika Latin dimana disebutkan bahwa perkembangan yang sehat dan otonom itu akan terjadi
pada waktu hubungan metropolis (negara maju) dan satelit (negara pinggiran) tidak ada.
Demikian juga tentang konsepsi thesis “dual
society’ dan “dual economic” yang dikembangkan oleh Athur Lewis—disini
Gunder Frank menolak dengan tegas anggapan tersebut. Seperti diketahui bahwa thesis
dual society mengatakan bahwa dalam negara-negara miskin terdapat dua sektor ekonomi yang terpisah
yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Kedua sektor ini dianggap mengalami perjalanan sejarah yang berbeda-beda
dan bahkan tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Dalam proses hubungan
ekonomi antara negara-negara kapitalis maju dengan negara-negara miskin ternyata hanya sektor modern yang mendapatkan
perhatian utamanya, sedangkan sektor tradisional tetap terbelakang dan hanya
berputar-putar dalam garis
substistensi, bersifat feodalistis dan tetap berada dalam suatu situasi yang disebut pre-capitalist (tidak mengenal
ekonomi uang).
Menurut Gunder Frank, hubungan metropolis dan satelit ini menyentuh keseluruhan sektor dalam negara-negara miskin, dan malahan keterbelakangan sektor tradisional ini justru diakibatkan oleh adanya kontak dengan sistem
kapitalis dunia yang masuk ke negara-negara miskin melalui sektor modern dalam negara-negara tersebut. Hal demikian disebut sebagai “fronting agent’ dan
sistem kapitalis dunia yang melakukan eksploitasi terhadap daerah-daerah atau
sektor-sektor yang terbelakang ini. Hasil dan surplus ekonominya kemudian dilempar ke
pusat-pusat metropolis dunia.
C. Pemikiran
Theotoneo Dos Santos
Pada dasarnya Dos Santos dalam pemikirannya tentang
thesis ketergantungan berpendapat bahwa titik berat proses ketergantungan tidak semestinya
merupakan “faktor luar” melainkan harus juga dikaitkan dengan “faktor dalam”
yang ada dalam negara-negara miskin ini.
Dos Santos beranggapan bahwa ketergantungan dan efek-efek
yang diakibatkannya dalam tata hubungan ekonomi di dalam negeri tidak dapat
dinetralisasi hanya dengan melakukan pendekatan isolasi (memutuskan hubungan)
seperti yang secara implisit terkandung dalam pemikiran Gunder Frank; tetap harus dapat merubah struktur intern
terlebih dahulu dalam setiap usaha untuk memutuskan kaitan ekonomis dengan pihak metropolis luar.
Ini
membuktikan bahwa masalah ketergantungan itu sudah berakar
di negara-negara miskin. Dalam kaitan inilah maka Dos Santos membagi
masalah ketergantungan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Ketergantungan kepada kolonial (Colonial
Dependence);
2. Ketergantungan kepada industri dan keuangan (Industrial
Financal Dependence);
3. Ketergantungan kepada teknologi industri (Technological
Industrial Dependence).
Menurut Dos Santos ketergantungan kolonial ditandai
oleh bentuk hubungan perdagangan eksport pada jaman penjajah dimana kekuatan-kekuatan komersiil yang beraliansi dengan pemerintahan kolonial mendominasi
hubungan ekonomi diantara negara-negara penjajah dengan negara-negara jajahan melalui sistem perdagangan monopoli yang
dilengkapi dengan sistem perdagangan monopoli penguasaan tanah, pertambangan
dan tenaga kerja oleh pemerintahan kolonial di negara-negara jajahan.
Ketergantungan industri dan keuangan ditandai dengan
adanya suatu dominasi modal besar di negara-negara penjajah yang mana ekspansinya ke negara-negara jajahan dilakukan dengan investasi dalam produksi
bahan-bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi di negara-negara penjajah ini. Struktur produksi di negara-negara jajahan tumbuh untuk melayani eksport komoditi negara penjajah.
Sedangkan ketergantungan kepada teknologi industri
berkembang setelah Perang Dunia II yaitu sebagai akibat operasi
perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasinya disektor-sektor
industri untuk memenuhi pasaran di dalam negara-negara terbelakang. Akibatnya hampir seluruh industri-industri
baru di negara-negara terbelakang ini secara teknis produksi tergantung pada luar negeri.
Dalam situasi ketergantungan kolonial dan
ketergantungan kepada industri dan keuangan, ekonomi dalam negeri di negara-negara jajahan tidak mampu untuk menimbulkan suatu pasaran
atau landasan permintaan efektif yang kokoh untuk menopang perkembangan
industri di dalam
negeri. Ketidakberdayaan ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni:
a. Sebagian
besar pendapatan nasional yang diperoleh melalui eksport digunakan untuk
membeli input dari
luar negeri,
sehingga yang tinggal untuk reinvestasi relatif sangat kecil;
b. Kaum
pekerja dalam
proses super eksploitasi sehingga konsumsi mereka relatif terbatas
dan tidak dapat menimbulkan permintaan efektif yang berarti.
Sedangkan dalam situasi ketergantungan kepada teknologi
industri, kemungkinan menimbulkan investasi-investasi baru di negara-negara terbelakang seluruhnya ditentukan oleh tersedianya devisa untuk membiayai mesin-mesin dan
bahan-bahan mentah yang tidak diproses di dalam negeri.
Pembelian mesin-mesin dan input yang diperlukan dari luar negeri oleh negara-negara terbelakang yang
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kemampuan sektor eksport yang ada untuk menghasilkan devisa, dan sektor sistem monopoli hak patent yang selalu mengakibatkan
produsen-produsen mesin cenderung untuk mengalihkan mesin-mesin ini sebagai penyertaan modal mereka dalam proyek-proyek investasi
di negara-negara terbelakang
ini dan selalu tidak bersedia menjual mesin-mesinnya seperti
komoditi biasa.
Untuk mengatasi masalah ini, Dos Santos mengemukakan bahwa diperlukan
pemeliharaan sektor ekspor yang ada untuk memperoleh devisa membiayai dalam
program industrialisasi. Sebaliknya jika sektor ekspor
ini dikuasai produksinya oleh pihak-pihak asing, maka
disini kembali
timbul ketergantungan kolonial dalam bentuk baru dengan segala akibatnya baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik.
D. Pemikiran Samir Amin
Salah satu pandangan Samir Amin dalam menerangkan ketergantungan dan keterbelakangan dari negara-negara miskin adalah masalah konsep pertukaran
yang tidak adil (unequal exchange). Konsep pertukaran yang tidak adil ini, menurut Samir Amin menunjukkan bagaimana terjadinya pengalihan
surplus dari
negara-negara miskin (periphery/negara pinggiran) ke negara-negara maju (centre/negara sentral) sebagai akibat proses perdagangan
internasional diantara kedua kelompok negara tersebut.
Konsep pertukaran yang tidak adil tersebut oleh Samir Amin dijelaskan sebagai berikut:
1. Bahwa
akibat oleh adanya rintangan-rintangan dalam proses pertukaran yang tidak adil
diantara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju;
2. Bahwa
akibat masuknya
modal asing dengan mendirikan industri-industri baru, maka mereka sangat berorientasi keluar negeri (Extravert Orientation). Sehingga
negera-negara terbelakang, khususnya yang menyangkut ekonomi rakyat, kerajinan rakyat dan
industri-industri kecil
rakyat lainnya menjadi
gulung tikar dan hancur;
3. Walaupun ada pengembangan industri-industri pengganti
import dan timbulnya
spesialisasi baru di negara-negara
terbelakang sebagai akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan asing (mancanegara) di negara-negara terbelakang, namun negara terbelakang ini pada hakekatnya berada di atas landasan yang sama seperti yang sudah dan masih
dialaminya sebagai
produsen dan pengekspor bahan-bahan mentah primer dalam keadaan ketergantungan
dan mengekspor barang-barang industripun juga dalam keadaan ketergantungan;
4. Distorsi keadaan tersebut, menimbulkan peningkatan yang menyolok dalam jumlah
yang bukan merupakan hasil evolusi dan struktur permintaan efektif didalam negeri maupun hasil evolusi dan kenaikan produktivitas;
5. Proses spesialisasi internasional yang tidak adil,
juga menimbulkan distorsi di negara-negara
terbelakang dalam bentuk penggunaan teknik-teknik produksi modern yang padat modal untuk kegiatan-kegiatan yang ringan. Hal demikian disebabkan oleh karena adanya
penentuan yang datang dari pihak luar yaitu pemilik-pemilik modal asing yang datang
menginvestasikan modal
mereka dalam membina industri-industi ringan ini. Umumnya pemilik-pemilik modal ini datang membawa mesin-mesin sebagai penyertaan mereka dalam perusahaan-perusahaan
yang mereka dirikan
di
negara-negara terbelakang. Disamping adanya pemikiran
bahwa penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih banyak dalam proses produksi
akan tidak menjurus kepada pemupukan surplus yang tinggi dalam waktu singkat
untuk digunakan dalam proses reinvestasi;
6. Dalam konteks hubungan ekonomi dengan negara-negara
maju dan dengan modal asing yang banyak beroperasi di negara-negara
terbelakang, maka kebocoran (leakage) yang berbentuk import dan hoarding
(simpanan yang tidak produktif) bukanlah merupakan faktor-faktor yang
menentukan kecilnya
pengganda (multiplier) di negara-negara terbelakang ini;
7. Manifestasi dan keterbelakangan negara-negara
terbelakang tidaklah diukur dari
rendahnya produksi per kepala,
melainkan dicerminkan oleh adanya ciri-ciri struktural di negara-negara ini. Ciri-ciri struktural tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. Adanya
ketidakmerataan yang parah dalam distribusi industri dan produksi serta adanya suatu sistem harga yang dipaksakan dari luar yang menimbulkan distorsi dan kepincangan distribusi pendapatan dalam negeri;
b. Adanya
situasi yang tidak saling terkait antar sektor sebagai akibat penyesuaian produksi
terhadap kebutuhan negara-negara maju sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi
tidak menyebar keseluruh sistem ekonomi. sehingga pertumbuhan ekonomi mengarah
pada autocentric growth dan autodynamic growth;
8. Bahwa
perkembangan sistem kapitalis di negara-negara terbelakang (kapitalisme pinggiran/peripheral
capitalism) sama sekali berbeda dengan
perkembangan sistem kapitalis di negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan sistem kapitalis
di negara-negara terbelakang ditentukan oleh sistem prakapitalis yang ada
sebelum sistem kapitalis (baru) masuk dalam jaringan sistem kapitalis dunia yang kemudian menimbulkan sistem kapitalis yang terbatas
dan penuh ketergantungan keluar, dimana sangat ditentukan oleh
hubungan-hubungan politik dengan pihak luar atau hubungan antar kelas di dalam
negeri.
Dalam memberikan sanggahan (komentar) terhadap teori ketergantungan (dependensia) ini, penulis mencoba menggunakan beberapa pandangan utama yang dilontarkan
oleh para pemikir sosial
ekonomi antara lain sebagai berikut:
1.
Bahwa tesis
ketergantungan ini
sangat menitikberatkan pada hubungan pertukaran antara negara-negara terbelakang dengan
negara-negara maju dan
tidak memberikan perhatian yang cukup lengkap terhadap sifat hubungan antara kelas di dalam negara tersebut yang
mengakibatkan keterbelakangan
sebagian besar masyarakatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gunder Frank bahwa
sifat dari cara berproduksi di negara-negara dunia ketiga sebahagian besar ditentukan oleh hubungan pertukaran dan bukan oleh hubungan produksi. Menurut Ranjit Sao disini Frank terlampau menitikberatkan
aspek siapa yang
pada akhirnya
memperoleh sebahagian
besar dari surplus ekonomi dan
bagaimana surplus ekonomi ini ditarik, tanpa mempersoalkan secara lengkap proses yang sesungguhnya berjalan
dalam menghasilkan suplus itu. Dengan kata lain Frank mengesampingkan kondisi-kondisi dimana proses produksi berlangsung dan dia hanya
menitikberatkan pada syarat-syarat yang menjadi dasar pertukaran hasil
produksi. Demikian juga halnya dengan aliansi-aliansi yang menyebabkan keterbelakangan kelas yang mewakili rakyat. Maka menurut
pandangan
Ranjit Sao disebabkan oleh adanya: Aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi Alliansi kelas
borjuasi dengna kelas
kapitalis asing; Aliansi kelas tuan tanah feodal dengan kapitalis asing.
Aliansi-aliansi ini
haruslah dilihat
secara kumpulan elemen (block of elements) dan
bukanlah secara pasangan elemen (pair of elements). Atau dengan maksud lain bahwa Ranjit Sao ingin mengatakan bahwa keseluruhan realitas sosial dan hubungan kelas yang dikemukakan
disini, jeas
bukan merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan proses yang harmonis dalam hubungan ekonomi yang kompetitif,
melainkan menuju kepada
suatu keseimbangan yakni menimbulkan ketidakmerataan dalam perkembangan situasi keterbelakangan.
2. Sanggahan
lain diberikan oleh Peter Evans (1979) yang melihat bahwa Brazil (sebagai
salah satu negara yang terbelakang) telah terjadi suatu “Development” atau suatu proses industrialisasi, tetapi bukannya suatu
proses pembangunan yang otonom melainkan suatu
pembangunan dengan
ketergantungan (dependent development). Tentunya disini Peter Evans bermaksud menolak pandangan teori dependensia
yang mengatakan
bahwa kondisi sosial ekonomi dan politik yang terdapat pada negara-negara berkembang atau dunia ketiga bukannya
disebabkan karena ketidakberkembangan keadaan atau tak berubahnya dan keadaan
asli melainkan
merupakan hasil
atau akibat dari
proses sejarah
dunia yang sama. yaitu sejarah atau perkembangan ekonomi negara-negara industri.
Dengan kata lain pendapat ini terlalu menitikberatkan analisanya kepada kekuatan ekonomi luar yang dinilai hebat dan sangat menentukan. Sebaliknya terlalu meremehkan kemampuan kelompok borjuasi lokal (lumpen
bourgeoisie). Dalam bukunya Evans bertitik tolak dari suatu hipotesa bahwa dewasa ini terdapat sejumlah negara yang secara jelas tidak bisa dikatakan Sebagai mata-mata daerah
pinggiran. Negara-negara itu yang disebut sebagai “semi
periphery” ternyata telah mampu mengontrol surplusnya sendiri. Dan atas dasar itu mulai melakukan proses industrialisasnya, Walaupun tidak
dalam pola seperti yang terjadi di negara-negara core atau centre. Dalam
proses ini
Evans melihat pentingnya peranan dan struktur elite seperti yang terbentuk di
Brazil. Dalam akhir analisanya Evans berpendapat bahwa pola industriaIis
semacam itu memang tidak mampu memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya dari masyarakat. Disini Evans menyebut terjadinya suatu
“Deformasi Struktural” (Structural
Deformation) dalam perekonomian pinggir sebagai contoh, teknologi yang dalam jumlah besar diimport dari pusat memang tidak dirancang untuk menyerap kelebihan
tenaga kerja petani yang menganggur dan rmenga!ami proses marginalisasi dalam arus modernisasi pertanian. Produk-produk yang dirancang di
pusat dan diasimilasikan
dipinggiran adalah merupakan barang sekunder, bahkan juga dinilai mewah dalam konteks masyarakat pinggiran, disamping
pola produksinya menggunakan bahan-bahan yang langka dan menimbulkan
distorsi dalam
alokasi sumber-sumber untuk kepentingan kelompok tertentu dan menyimpang dari kebutuhan konsumsi massa. Pola semacam ini juga yang menyebabkan timbulnya proses marginalisasi produsen
kecil dan eksekusi
sebagian besar masyarakat sebagai konsumen barang-barang industri. Dengan demikian, menurut Evans kontradiksi
yang lebih essensial tidak terdapat didalam hubungan diantara kekuatan
segitiga, melainkan antara elite dan massa. Hal ini diekspresikan dalam gejala, disatu pihak terjadi proses internasionalisasi, sentralisasi dan
konsentrasi kekuatan kapital monopoli, dan dilain pihak terjadi proses marginalisasi,
eksekusi dan berkembangnya
kemiskinan yang semakin mendalam pada lapisan masyarakat bawah.
IV. PERBEDAAN
TEORI MODERNISASI DAN TEORI DEPENDENSIA
Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara
berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi,
pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi
memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus
menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral,
sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom,
sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi
sosialis.
Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi
negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk
memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap
modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai
bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika
Latin menjalankan modernisasinya.
Teori ketergantungan merupakan analisis tandingan terhadap teori
modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya
ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori
ketergantungan memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam
paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang
akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang
bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori ketergantungan ini secara
umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual
majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap
kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia
juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang
dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak
(konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut
pandang dari negara pinggiran.
Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa kesejahteraan bagi
masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab kegagalan
kapitalisme adalah penguasaan akses terhadap sumberdaya dan faktor produksi
menyebabkan eksploitas terhadap kaum buruh yang tidak memiliki akses.
Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran kelas dan perjuangan
merebut akses sumberdaya dan faktor produksi untuk menuju tatanan masyarakat
tanpa kelas.
Teori ketergantungan lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan
dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori
ketergantungan mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang
hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya
teori ketergantungan lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama
persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini
mencermati hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral
di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan
akibat yang akan merugikan Dunia Ketiga. Negara sentral di Barat selalu dan
akan menindas negara Dunia Ketiga dengan selalu berusaha menjaga aliran surplus
ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral.
Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan spesifik dan
juga merupakan persoalan sosial politik. Kedua teori ini berbeda dalam
memberikan jalan keluar persoalan keterbelakangan negara Dunia Ketiga. Teori
modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang
dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran
budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori ketergantungan memberikan
anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk
mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga
memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses
dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Bagi Frank, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah
masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan
merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai
akibat globalisasi dari sistem kapitalisme.
Prebisch berbicara tentang aspek ekonomi dari persoalan ini, yakni
ketimpangan nilai tukar. Menurut Presbisch, negara-negara yang terbelakang harus
melakukan industrialisasi, jika ingin membangun dirinya. Industrialisasi ini
dimulai dengan industri substitusi impor. Barang-barang industri yang tadinya
diimpor, harus diproduksi di dalam negeri. Frank lebih berbicara tentang aspek
politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negara-negara satelit. Bagi Frank,
keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi yang melahirkan sistem
sosialis. Hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi
negara satelit. Tidak mungkin ada perkembangan di negara satelit selama negara
ini masih berhubungan dan menginduk kepada negara metropolis. Namun, Dos Santos
berkata lain, Dia menyatakan bahwa negara pinggiran atau satelit bisa juga
berkembang, meskipun perkembangan ini merupakan perkembangan yang tergantung,
perkembangan ikutan. Impuls dan dinamika perkembangan ini tidak datang dari
negara satelit tersebut, tetapi dari negara induknya.
Di dalam teori ketergantungan ini sendiri, pada pokoknya ada dua pendapat
yang berbeda, yakni: Frank beranggapan bahwa
struktur ketergantungan yang ada di negara satelit tidak akan memungkinkan
negara ini melakukan pembangunan, khususnya industrialisasi. Sedangkan Dos
Santos beranggapan bahwa hal tersebut mungkin, meskipun pembangunan dan
industrialisasi yang terjadi merupakan bayangan dari apa yang terjadi di
negara-negara pusat.
Kedua teori ini
berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbalakangan negara Dunia
Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara
berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi,
pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi
memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus
menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral,
sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom,
sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi
sosialis.
No
|
Elemen Perbandingan
|
Teori Modernisasi Klasik
|
Teori Dependensi Klasik
|
1.
|
Persamaan
fokus perhatian (keprihatinan).
|
·
Pembangunan dunia ketiga.
|
·
Sama.
|
2.
|
Metode.
|
·
Sangat abstrak.
·
Perumusan model-model.
|
·
Sama.
·
Sama.
|
3.
|
Dwi-kutub
struktur ekonomi.
|
·
Tradisional dan modern.
·
(maju).
|
·
Sentral (metropolis).
·
Pinggiran (satelit).
|
4.
|
Perbedaan warisan
teoritis.
|
·
Teori evolusi.
·
Teori fungsionalisme.
|
·
Program KEPBBAL.
·
Marxis ortodoks.
|
5.
|
Hubungan
internasional.
|
·
Saling menguntungkan.
|
·
Merugikan negara dunia ketiga.
|
6.
|
Masa depan
dunia ketiga.
|
·
Optimis.
|
·
Pesimis.
|
7.
|
Kebijaksanaan
pembangunan
(pemecahan masalah).
|
·
Lebih mendekatkan keterkaitan negara
maju.
|
·
Mengurangi keterkaitan dengan negara
sentral revolusi sosialis.
|
V. IMPLIKASI
TEORI DEPENDENSIA KLASIK
Secara filosofis,
teori dependensia menghendaki untuk meninjau kembali pengertian
“pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai
sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan
produktivitas. Bagi teori dependensia, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan
standar hidup bagi setiap penduduk di negara Dunia
Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang
melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan
program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan,
para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi
memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan
sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat
dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.
VI. PERKEMBANGAN
TEORI DEPENDENSIA
Teori
dependensia baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimilki
oleh teori dependensi klasik. Teori ini tidak
lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan yang berlaku umum
dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata-mata
disebabkan oleh faktor eksternal, lebih
dari itu, teori dependensia baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan
sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional
dan keterbelakangan, ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini,
lebih dikonsepkan sebagai sesuatu yang memiliki batas ruang dan waktu yang
karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain, situasi
ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan yang spesifik. Lebih
dari itu, faktor internal memiliki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan karenanya
ketergantungan juga merupakan persoalan politik sosial.
Dengan
perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori
dependensia baru ini telah melahirkan berbagai kategori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh
teori dependensi klasik seperti misalnya adalah ”pembangunan yang bergantung”,
”negara birokratik otoriter”, ”aliansi tiga kelompok” dan ”pembangunan yang
dinamis”. Sebagai akibatnya, pengertian-pengertian baru ini telah mampu membantu membuka jendela untuk
melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisa baru, yang pada
gilirannya telah menghasilkan tidak sedikitnya karya penelitian baru yang
menguji secara lebih teliti persoalan pembangunan dan ketergantungan di
negara dunia ketiga.
Perbedaan Teori Dependensia
Klasik dan Teori Dependensia Baru
No
|
Indikator
|
Teori Dependensia klasik
|
Teori Dependensia baru
|
1.
|
Persamaan pokok perhatian
|
· Negara dunia ketiga
|
· Sama
|
2.
|
Level analisa
|
· Nasional
|
· Sama
|
3.
|
Konsep pokok implikasi
|
· Sentral-pinggiran
· Ketergantungan
|
· Sama
|
4.
|
Kebijaksanaan
|
· Ketergantungan bertolak-belakang
dengan pembangunan
|
· Sama
|
5.
|
Perbedaan metode
|
· Abstrak pola umum
· ketergantungan
|
· Historis-struktural situasi konkrit
ketergantungan
|
6.
|
Faktor pokok
|
· Eksternal kolonialisme dan
ketidakseimbangan nilai tukar
|
· Internal negara dan konflik kelas
|
7.
|
Ciri-ciri politik ketergantungan
|
· Fenomena ekonomis
|
· Fenomena sosial
|
8.
|
Pembangunan dan ketergantungan
|
· Bertolak-belakang
· Hanya menuju pada keterbelakangan
|
· Koeksistensi:
· Pembangunan yang bergantung
|
VII. DEPENDENSIA DAN
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Pada pertengahan
1960-an di dunia ketiga sedang menggejala mengundang masuknya modal
asing dalam bentuk Multinational Corporations (MNC)
dengan tujuan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonominya, menciptakan lapangan kerja dan meraih teknologi. Kehadiran modal
asing dalam bentuk Multinational Corporations
diharapkan menumbuhkan/melahirkan usaha-usaha lain (forward linkage and backward linkage), yang juga akan meningkatkan
daya beli masyarakat (trickle down effect). Model pembangunan dengan teori modernisasi
yang pernah berhasil diterapkan misalnya di
Jepang setelah perang dunia kedua, hendak diulangi di dunia ketiga. Nilai yang kontekstual diangkat menjadi
universal. Sejarah ditransformasi menjadi ideologi
atau menjadi hukum ahistoris.
Termasuk di
Indonesia, hal ini ditandai
dengan adanya penetrasi finansial, teknologi dan penetrasi poltik serta
budaya. Melalui penetrasi finansial,
teori dependesi masuk dengan liberalisasi sektor ekonomi yang ditandai dengan
masuknya FDI dan MNC yang mulai beroperasi di Indonesia dan penetrasi politik
serta budaya juga telah dimasuki oleh budaya asing khususnya budaya barat, baik
itu melalui film, gaya hidup, bahan bacaan dan lain-lain.
Pada bulan
Januari 1967 Pemerintah Orde Baru mengambil keputusan penting dengan
mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (the Foreign Capital Investment Law No. 1 of January
1967), maka investor dari berbagai negara
mulai masuk ke Indonesia. Apa yang mendasari
masuknya MNC ke Indonesia? Pada umumnya keputusan sebuah MNC menanam modalnya di negara sedang berkembang didorong oleh
keuntungan yang diharapkan lebih tinggi
dibandingkan kemungkinan investasi di negaranya sendiri atau di negara maju
yang lain. Keuntungan relatif dari investasi
seperti itu tergantung dari faktor-faktor ekonomi maupun politik. Karena itu baik faktor ekonomi maupun politik
dipertimbangkan bersama-sama. Sehubungan
dengan ini, kiranya tepat pendapat Robert Gilpin:
“Direct
investments are intended to establish a permanent source of income or supply in
the foreign economy; consequently, they create economic and
political relationships of a lasting andsignificant character”
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sesungguhnya
dihadapkan pada dua pilihan: apakah mereka memilih ketergantungan kepada modal dan
bantuan asing atau menempuh jalan mereka
sendiri dalam proses menuju swadaya nasional berdasarkan keikutsertaan rakyat
secara aktif dan sadar dalam proses
pembangunan. Apabila jalan pertama yang ditempuh, yakni pembangunan yang bergantung kepada asing, seperti yang
ditempuh Indonesia pasca 1966, maka akibat
yang terjadi sudah jelas, yakni polarisasi yang makin tajam antara si kaya dan
si miskin, serta kesediaan untuk memobilisasi sumber-sumber nasional guna
kebutuhan asing. Dalam situasi seperti itu menurut Adi Sasono
“stabilitas hanya bisa ditegakkan melalui pengetatan politik, karena
keresahan sosial dan kemiskinan massal akan merupakan biaya sosial yang harus
dibayar bagi pertumbuhan ekonomi di sektor modern dalam rangka integrasi dengan
dunia kapitalisme internasional”.
Sedangkan
pembahasan mengenai industri-industri di Indonesia, terlihat jelas bahwa
walaupun terjadi
perkembangan, namun tetap ada ketergantungan dan nampaknya sejalan dengan teori
Associated-Dependent
Development-nya Fernando Hendrique
Cardoso. Dalam teori ini, “pemilikan” industri
nampaknya tidak penting, apakah dimiliki pihak asing, berbentuk perusahaan patungan atau perusahaan domestik yang bergabung
dengan perusahaan-perusahaan asing, tetapi
penekanan justru pada siapa yang mengambil keputusan, umumnya berada di luar
negeri.
Dalam kasus Indonesia, ketergantungan utang
yang terlalu besar dinilai mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan
negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan ekosistem hutan.
Benarkah demikian? Argumen pemerintah berutang selama ini adalah adanya
kebutuhan investasi yang besar untuk pembangunan ekonomi dan sosial dalam
rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan dan memenuhi tuntutan aspirasi
masyarakat yang terus meningkat.
Pada saat yang sama, pemerintah dihadapkan
pada keterbatasan sumber dana untuk melaksanakan agenda pembangunan
tersebut. Dalam konteks ini, utang diperlukan untuk menutup kesenjangan yang
ada antara kebutuhan investasi dan kemampuan mobilitas dana di dalam
negeri (saving investment gap).
Mereka yang mendukung utang cenderung hanya melihat manfaat, tanpa melihat
biaya politik dan dampak utang terhadap sosial ekonomi serta ekosistem.
Bagi mereka, sah-sah saja kita berutang selama utang dipakai untuk tujuan
produktif, sebagaimana tecermin dari meningkatnya kapasitas perekonomian
dalam menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan juga kapasitas
membayar utang.
Sementara mereka yang menentang utang melihat
adanya kesenjangan antara janji manfaat dan konsekuensi mahal yang harus
ditanggung bangsa akibat utang. Mereka melihat tak kunjung berubahnya paradigma
kebijakan berutang pemerintah dan tak adanya komitmen untuk menciptakan
kemandirian ekonomi, seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers).
Padahal, banyak contoh negara yang mampu
berdiri sendiri menjadi negara maju dan bermartabat tanpa terus-menerus
bergantung pada utang kendati mereka tak memiliki sumber daya melimpah seperti
Indonesia. Juga banyak contoh negara yang selama ini menjadi langganan
krisis utang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi perekonomian yang jauh
lebih sehat setelah memperoleh penghapusan utang. Jika dicermati, kekhawatiran
berbagai pihak menyangkut utang dilandasi sejumlah hal antara lain: ketergantungan
pembiayaan pembangunan pada utang yang tinggi serta konsekuensinya bagi
kemandirian Indonesia dalam menetapkan kebijakan yang tepat buat mereka
sendiri tanpa didikte kepentingan kreditor.
Stok utang yang terus membengkak secara
nominal kendati secara rasio terhadap PDB angkanya menurun. Utang Rp 1.700 triliun lebih tahun ini
memang bukan yang terbesar dalam sejarah. Total utang Indonesia pernah mencapai
Rp 2.100 triliun pasca krisis 1997/1998 antara lain karena adanya beban
biaya restrukturisasi perbankan yang mencapai Rp 650 triliun lebih,
tetapi situasi waktu itu bisa dikatakan tak normal.
Semakin membengkaknya kewajiban utang ini
menjadi beban bagi APBN dan generasi mendatang karena menyedot anggaran
pembangunan dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial. Praktis sepertiga
penerimaan pajak tersedot untuk membayar bunga utang. Sementara untuk
memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah
terus dipaksa menerbitkan utang baru (gali lubang tutup lubang). Pada masa Orde
Baru, seperti diungkapkan Alm Prof Soemitro Djojohadikusumo, 30 persen utang
dikorupsi sehingga kemudian muncul istilah utang najis (odiuos debt) dan desakan untuk meminta
penghapusan utang. Pasca-Orde Baru, banyak utang yang sudah dibuat dan
dikenai commitment fee mahal ternyata
tak dicairkan sehingga jadi beban ekonomi. Hanya sekitar 44 persen utang
yang akhirnya terserap.
Kini, meskipun rezim utang sudah lebih
terbuka (utang tak lagi dianggap sebagai sumber penerimaan negara seperti
pada era Orde Baru) dan sudah ada apa yang disebut ”manajemen risiko utang”,
kita masih melihat begitu gampang pemerintah membuat utang baru tanpa
memikirkan bebannya bagi generasi mendatang. Padahal, tanpa tambahan
utang baru pun, utang sekarang ini baru akan lunas 40 tahun lagi.
Berikut
catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB sejak tahun 2000
(sumber detik.com):
·
Tahun
2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
·
Tahun
2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
·
Tahun
2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
·
Tahun
2003: Rp 1.232,5 triliun (61%)
·
Tahun
2004: Rp 1.299,5 triliun (57%)
·
Tahun
2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
·
Tahun
2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
·
Tahun
2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
·
Tahun
2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
·
Tahun
2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
·
Tahun
2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
·
November
2011: Rp 1.816,85 triliun (28,2%)
VIII. DAMPAK
DEPEDENSI UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
BI dalam kajian stabilitas keuangan 2008
pernah mengingatkan resiko dari kecenderungan meningkatnya tekanan
utang dengan terus meningkatnya stok utang luar negeri. Yang mencemaskan,
peningkatan juga terjadi pada utang jangka pendek. Kondisi ini, menurut
BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor
keuangan karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak
ditempatkan pada SBI dan SUN yang jumlahnya cenderung terus meningkat.
Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan
di surat berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak
mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul karena besarnya
pembayaran utang luar negeri. Berbagai desakan untuk dilakukannya moratorium
utang, baik luar negeri maupun dalam negeri, menunjukkan masyarakat sudah
lelah dengan utang. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya keinginan kuat dari
pemerintah untuk mengerem utang.
Pernyataan pejabat bahwa perekonomian akan
stagnan tanpa utang atau pernyataan untuk tak alergi terhadap utang
menyiratkan posisi utang yang bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah
menjadi kebutuhan. Itu sekaligus tak adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu
membawa perekonomian mandiri tanpa terus bergantung pada utang. Selama
ini definisi pemerintah soal berkurangnya ketergantungan utang adalah rasio
utang terhadap PDB yang terus menurun dan digantikannya peran dominan
utang luar negeri oleh utang dalam negeri. ”Semakin menurunnya rasio utang
terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan
defisit dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada
utang dan lebih banyak mengandalkan pada kemampuan dalam negeri,” ujar
Anggito Abimanyu. Pemerintah, punya strategi pengelolaan utang domestik
yang baik, mulai dari penerbitan, pelunasan, pengaturan jatuh tempo,
refinancing, buy back, hingga peminimuman biaya dan risiko utang sehingga
potensi bom waktu utang tak akan terjadi.
Ada beberapa strategi
untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri yaitu:
1. Meningkatkan penerimaan Negara melalui,
penggalian potensi penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan dan jasa
kementerian dan lembaga ditingkatkan dengan melakukan langkah-langkah
penertiban dan perbaikan administrasi PNBP, penyempurnaan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan PNBP, serta penyesuaian tarif dan peninjauan atas cakupan
dan fleksibilitas penggunaannya;
2. Peningkatan penerimaan negara dari pajak,
cukai, dan PNBP;
3. Penerapan manajemen resiko terhadap pengajuan utang baru;
4. Mengurangi ketergantungan pada utang bisa
dilakukan dengan lebih banyak memobilisasi sumber dana dalam negeri
non-utang dan menekan kebocoran, terutama kebocoran di APBN;
5. Menekan rasio utang terhadap PDB saja tak
cukup. Harus ada perubahan paradigma dan langkah kebijakan lebih radikal
menyangkut utang. Termasuk di antaranya, mengurangi stok utang yang ada secara
nominal (usulan lebih radikal bahkan menghendaki penghapusan utang) sehingga
bisa mengurangi kerentanan ekonomi terhadap guncangan krisis dan dana
untuk membayar kembali utang bisa dipakai guna memperbaiki kesejahteraan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Heryanto, J, 2003. “Peranan
Multinational Corporations Dalam Industrialisasi Di Indonesia Pada Era Orde
Baru”. Jurnal
Manajemen & Kewirausahaan Vol. 5, No. 1, Maret 2003: 17 – 24.
Simanjuntak,
Laurensius, 2011. Didownload melalui http://finance.detik.com/read/2011/12/16/111052/1792626/4/sby-banggakan-rasio-utang-indonesia-cuma-25-pdb?f990101mainnews tanggal 25 Desember 2011.
http://www.pajak.go.id/content/tingkatkan-penerimaan-untuk-kurangi-ketergantungan-asing. Didownload tanggal 25 Desember 2011.
http://kompas.com/read/xml/2009/07/03/05213771/perlu.keberanian.memutus.ketergantungan. Didownload tanggal
25 Desember 2011
Kuncoro,
Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan:
Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Suryono,
Agus. 2010. Dimensi-dimensi Prima Teori
Pembangunan. Malang: UBPress.
Suryono,
Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan
dalam Perspektif Teori Ilmu Sosial. Malang: UMPress.
Teori
Dependesia. Didownload melalui http://prari007luck.wordpress.com/2008/10/08/teori-dependensi/ tanggal 25 Desember 2011.
Todaro,
Michael P. 2000. Ekonomi untuk Negara
Berkembang: Suatu Pengantar tentang Prinsip-prinsip, Masalah dan Kebijakan
Pembangunan 2. Jakarta: Bumi Aksara.
Todaro,
Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar