Sabtu, 18 Februari 2012

TEORI DEPENDENSIA


Disusun Oleh :
Henny P, Khuswantoro A, Sapto B S,  Sunar Wibowo, Nuning Hindriani
TM8/MAP/UB



I.       SEJARAH TEORI DEPENDENSIA
Secara historis, teori Dependensia lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.
Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensia. Teori ini berpendapat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa.
Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini. Tentang imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di negara maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di negara maju.
Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ada dua hal. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara Dunia Ketiga.
Dalam perkembangannya, teori Dependensia terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan Dependensi Baru yang diwakili oleh F.H. Cardoso.

II.      ASUMSI DASAR TEORI DEPENDENSIA KLASIK
Adapun asumsi dasar teori dependensia klasik adalah sebagai berikut:
Ø  Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
Ø  Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga.
Ø  Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.
Ø  Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
Ø  Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.

III.     WARISAN PEMIKIRAN
A.    Pemikiran Paul Baran
Paul Baran mengatakan bahwa di dalam interaksi ekonomi internasional terjadi suatu transaksi dimana faktor modal dalam negeri yang memiliki produktivitas terbatas (marginal productivity) dan rendah bergerak ke negara yang memiliki produktivitas tinggi. Hal ini diharapkan terjadinya suatu keseimbangan antara keduanya. Namun, pergerakan faktor modal dari negara maju ke negara miskin, ternyata hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan dari negara miskin tersebut yang merupakan bagian terbesar dari pertambahan pendapatan dari pergerakan faktor modal yang diakibatkan oleh adanya investasi asing tersebut. Dengan demikian, naiknya pendapatan nasional di negara miskin tidaklah dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat di negeri itu karena adanya kepincangan dalam distribusi pendapatan. Keuntungan yang ditimbulkan oleh investasi asing ini hanya dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat melalui proses eksploitasi.
Penggantian sistem hubungan paternalistik dan jasa dengan sistem kapitalistis yang didasarkan atas rasionalitas pasar merupakan langkah utama dalam transformasi masyarakat ke arah kemajuan dan peradaban yang lebih tinggi seperti yang pernah dialami di Eropa Barat. Tetapi penerapan nilai-nilai komersiil dalam tata hubungan sosial dalam masyarakat feodal atau semi feodal ini justru telah meningkatkan proses eksploitasi terhadap golongan lemah yaitu rakyat. Kendatipun demikian, proses eksploitasi yang dilakukan oleh penguasa feodal tidaklah sekejam proses eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik-pemilik modal dalam rangka sistem kapitalis. Sebab proses eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik-pemilik modal dalam sistem kapitalis ini disertai pula dengan proses korupsi dan ketidakadilan dalam setiap struktur pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan sistem kapitalis internasional.
Kepincangan sosial sebagai akibat dari proses eksploitasi ini, telah menimbulkan reaksi-reaksi dari sebagian besar golongan terpelajar dan golongan pengusaha nasional yang melihat dominasi asing sebagai suatu hal yang perlu disingkirkan. Tapi kedua golongan ini ternyata tidak mampu untuk mengadakan perubahan dan perlawanan yang disebabkan antara lain karena:
a.      Kedua golongan ini merupakan suatu golongan yang relatif lemah sebagai akibat keterbelakangan dan kemiskinan dimana mereka berada;
b.      Golongan kelas menengah ini masih cenderung berorientasi kepada nilai-nilai yang dikembangkan oleh pihak yang berkuasa dengan segala vested interest dan status quo-nya, akibatnya mereka sulit menerima ajakan pembaharuan untuk melakukan revolusi sosial yang menyatu dengan golongan bawah; dan
c.      Sebagai akibat dan rasa ketidakmampuan (vulnerabelity) golongan kelas menengah ini untuk melakukan pendobrakan terhadap proses eksploitasi yang dilakukan oleh modal asing dan perangkat sistem yang menyertainya, maka pada akhirnya terpaksa melakukan kerjasama dengan pemilik modal asing dan penguasa lokal setempat yang selama ini dibencinya.
Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan memiliki landasan struktur dan stelsel sosial seperti yang dikemukakan di atas biasanya ditumpukan pada program pertumbuhan produksi untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk. Akibatnya, pertumbuhan produksi disektor pertanian tradisional tidak lagi dapat diharapkan produktivitasnya. Maka kebijaksanaan pertumbuhan ekonominya harus dilaksanakan dengan mengutamakan sektor industri dan sektor ekstraktif lainnya.
Pada kenyataannya, sektor industri tidak tumbuh sehat dilihat dari sudut perkembangan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Sebab sebagian industri-industri ini memproduksi barang-barang kebutuhan elite (barang mewah) karena dianggap lebih menguntungkan. Sementara itu industri-industri ekstraktif barang-barang konsumtif lainnya yang juga turut berkembang, dimana itu merupakan hasil usaha modal asing atau modal campuran dengan pihak domestik. Akibatnya hal ini telah mematikan industri-industri rakyat yang selama ini memproduksi barang-barang sejenis. Kemudian timbul unit-unit monopolistis atau oligopolistis yang dikuasai oleh sekelompok orang-orang tertentu.
Para industrialis yang beroperasi dalam situasi monopolistis dan oligopolistis ini dengan sendirinya memperoleh keuntungan yang diatas normal. Tingkat keuntungan yang diatas normal ini kemudian oleh pemilik-pemilik modal asing dikirim keluar negeri dan justru tidak dipergunakan untuk investasi dalam negeri yang mempunyai efek tehadap ekonomi rakyat, penyerapan tenaga kerja maupun perluasan spesialisasi dalam masyarakat.
Proses ekonomi dan pertumbuhan sektor-sektor seperti yang disebutkan diatas dipermudah lagi dengan jaringan kerjasama antara pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa. Dan golongan elite inilah yang sangat berkepentingan di dalam melindungi kepentingan pihak asing tersebut. Jadi adanya kemungkinan-kemungkinan usaha pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi yang bersifat merakyat (populis) yakni suatu kebijaksanaan-kebijaksanaan yang secara drastis dapat merubah struktur permintaan efektif yang ada dalam masyarakat dan realokasi sumber-sumber produktif untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi rakyat—dengan sendirinya tidak akan pernah terjadi, karena selalu disabotase oleh tiga serangkai yang disebutkan diatas. Demikian pula, jika suatu ketika misalnya muncul seorang pemimpin yang ingin melaksanakan tindakan-tindakan untuk membela kepentingan rakyat/bawah, kemungkinan mengalami kegagalan karena adanya pendukung-pendukung status quo yang telah berakar kuat.
Oleh karena itu Paul Baran menyarankan perlu adanya penentuan dan pentingnya perubahan struktur sosial dan politik yang menopang setiap pemerintahan dalam bentuk perubahan revolusi. Perubahan ini diatur sedemikan rupa sehingga kepentingan nasional dan kepentingan rakyat banyak secara otomatis terkontrol, dilindungi dan dipertahankan. Dengan kata lain selama perubahan struktur sosial dan politik tidak dapat dilakukan, maka selama itu pula perkembangan ekonomi dan sosial akan mengalarni stagnasi dan tidak pernah terwujud.

B.   Pemikiran Andre Gunder Frank
Gunder Frank memulai pandangannya dengan mengemukakan secara umurn mekanisme terjadinya proses usaha menterbelakangkan negara-negara miskin. Dalam kontak hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara miskin, Gunder Frank membuat kriteria yaitu apa yang disebutnya sebagai negeri-negeri metropolis maju (development metropolitan countries). Hubungan ekonomi diantara negara-negara metropolis maju dengan negara-negara satelit yang terbelakang ini merupakan aspek utama dalam perkembangan sistem kapitalis internasional. Disini Gunder Frank bermaksud untuk membantah adanya suatu anggapan bahwa perkembangan ekonomi negara-negara miskin akan terjadi sebagai akibat kontak hubungan ekonomi antara negara maju dengan negara-negara miskin yang menimbulkan difusi modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor-faktor dinamis lainnya kepada negara miskin. Gunder Frank mengemukakan penolakannya dalam penemuan-penemuannya secara historis di Amerika Latin dimana disebutkan bahwa perkembangan yang sehat dan otonom itu akan terjadi pada waktu hubungan metropolis (negara maju) dan satelit (negara pinggiran) tidak ada.
Demikian juga tentang konsepsi thesis “dual society’ dan “dual economic” yang dikembangkan oleh Athur Lewis—disini Gunder Frank menolak dengan tegas anggapan tersebut. Seperti diketahui bahwa thesis dual society mengatakan bahwa dalam negara-negara miskin terdapat dua sektor ekonomi yang terpisah yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Kedua sektor ini dianggap mengalami perjalanan sejarah yang berbeda-beda dan bahkan tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Dalam proses hubungan ekonomi antara negara-negara kapitalis maju dengan negara-negara miskin ternyata hanya sektor modern yang mendapatkan perhatian utamanya, sedangkan sektor tradisional tetap terbelakang dan hanya berputar-putar dalam garis substistensi, bersifat feodalistis dan tetap berada dalam suatu situasi yang disebut pre-capitalist (tidak mengenal ekonomi uang).
Menurut Gunder Frank, hubungan metropolis dan satelit ini menyentuh keseluruhan sektor dalam negara-negara miskin, dan malahan keterbelakangan sektor tradisional ini justru diakibatkan oleh adanya kontak dengan sistem kapitalis dunia yang masuk ke negara-negara miskin melalui sektor modern dalam negara-negara tersebut. Hal demikian disebut sebagai “fronting agent’ dan sistem kapitalis dunia yang melakukan eksploitasi terhadap daerah-daerah atau sektor-sektor yang terbelakang ini. Hasil dan surplus ekonominya kemudian dilempar ke pusat-pusat metropolis dunia.




C.     Pemikiran Theotoneo Dos Santos
Pada dasarnya Dos Santos dalam pemikirannya tentang thesis ketergantungan berpendapat bahwa titik berat proses ketergantungan tidak semestinya merupakan “faktor luar” melainkan harus juga dikaitkan dengan “faktor dalam” yang ada dalam negara-negara miskin ini.
Dos Santos beranggapan bahwa ketergantungan dan efek-efek yang diakibatkannya dalam tata hubungan ekonomi di dalam negeri tidak dapat dinetralisasi hanya dengan melakukan pendekatan isolasi (memutuskan hubungan) seperti yang secara implisit terkandung dalam pemikiran Gunder Frank; tetap harus dapat merubah struktur intern terlebih dahulu dalam setiap usaha untuk memutuskan kaitan ekonomis dengan pihak metropolis luar.
Ini membuktikan bahwa masalah ketergantungan itu sudah berakar di negara-negara miskin. Dalam kaitan inilah maka Dos Santos membagi masalah ketergantungan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.    Ketergantungan kepada kolonial (Colonial Dependence);
2.    Ketergantungan kepada industri dan keuangan (Industrial Financal Dependence);
3.    Ketergantungan kepada teknologi industri (Technological Industrial Dependence).
Menurut Dos Santos ketergantungan kolonial ditandai oleh bentuk hubungan perdagangan eksport pada jaman penjajah dimana kekuatan-kekuatan komersiil yang beraliansi dengan pemerintahan kolonial mendominasi hubungan ekonomi diantara negara-negara penjajah dengan negara-negara jajahan melalui sistem perdagangan monopoli yang dilengkapi dengan sistem perdagangan monopoli penguasaan tanah, pertambangan dan tenaga kerja oleh pemerintahan kolonial di negara-negara jajahan.
Ketergantungan industri dan keuangan ditandai dengan adanya suatu dominasi modal besar di negara-negara penjajah yang mana ekspansinya ke negara-negara jajahan dilakukan dengan investasi dalam produksi bahan-bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi di negara-negara penjajah ini. Struktur produksi di negara-negara jajahan tumbuh untuk melayani eksport komoditi negara penjajah.
Sedangkan ketergantungan kepada teknologi industri berkembang setelah Perang Dunia II yaitu sebagai akibat operasi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan investasinya disektor-sektor industri untuk memenuhi pasaran di dalam negara-negara terbelakang. Akibatnya hampir seluruh industri-industri baru di negara-negara terbelakang ini secara teknis produksi tergantung pada luar negeri.
Dalam situasi ketergantungan kolonial dan ketergantungan kepada industri dan keuangan, ekonomi dalam negeri di negara-negara jajahan tidak mampu untuk menimbulkan suatu pasaran atau landasan permintaan efektif yang kokoh untuk menopang perkembangan industri di dalam negeri. Ketidakberdayaan ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni:
a.    Sebagian besar pendapatan nasional yang diperoleh melalui eksport digunakan untuk membeli input dari luar negeri, sehingga yang tinggal untuk reinvestasi relatif sangat kecil;
b.    Kaum pekerja dalam proses super eksploitasi sehingga konsumsi mereka relatif terbatas dan tidak dapat menimbulkan permintaan efektif yang berarti.
Sedangkan dalam situasi ketergantungan kepada teknologi industri, kemungkinan menimbulkan investasi-investasi baru di negara-negara terbelakang seluruhnya ditentukan oleh tersedianya devisa untuk membiayai mesin-mesin dan bahan-bahan mentah yang tidak diproses di dalam negeri.
Pembelian mesin-mesin dan input yang diperlukan dari luar negeri oleh negara-negara terbelakang yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kemampuan sektor eksport yang ada untuk menghasilkan devisa, dan sektor sistem monopoli hak patent yang selalu mengakibatkan produsen-produsen mesin cenderung untuk mengalihkan mesin-mesin ini sebagai penyertaan modal mereka dalam proyek-proyek investasi di negara-negara terbelakang ini dan selalu tidak bersedia menjual mesin-mesinnya seperti komoditi biasa.
Untuk mengatasi masalah ini, Dos Santos mengemukakan bahwa diperlukan  pemeliharaan sektor ekspor yang ada untuk memperoleh devisa membiayai dalam program industrialisasi. Sebaliknya jika sektor ekspor ini dikuasai produksinya oleh pihak-pihak asing, maka disini kembali timbul ketergantungan kolonial dalam bentuk baru dengan segala akibatnya baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik.

D.     Pemikiran Samir Amin
Salah satu pandangan Samir Amin dalam menerangkan ketergantungan dan keterbelakangan dari negara-negara miskin adalah masalah konsep pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep pertukaran yang tidak adil ini, menurut Samir Amin menunjukkan bagaimana terjadinya pengalihan surplus dari negara-negara miskin (periphery/negara pinggiran) ke negara-negara maju (centre/negara sentral) sebagai akibat proses perdagangan internasional diantara kedua kelompok negara tersebut.
Konsep pertukaran yang tidak adil tersebut oleh Samir Amin dijelaskan sebagai berikut:
1.    Bahwa akibat oleh adanya rintangan-rintangan dalam proses pertukaran yang tidak adil diantara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju;
2.    Bahwa akibat masuknya modal asing dengan mendirikan industri-industri baru, maka mereka sangat berorientasi keluar negeri (Extravert Orientation). Sehingga negera-negara terbelakang, khususnya yang menyangkut ekonomi rakyat, kerajinan rakyat dan industri-industri kecil rakyat lainnya menjadi gulung tikar dan hancur;
3.    Walaupun ada pengembangan industri-industri pengganti import dan timbulnya spesialisasi baru di negara-negara terbelakang sebagai akibat beroperasinya perusahaan-perusahaan asing (mancanegara) di negara-negara terbelakang, namun negara terbelakang ini pada hakekatnya berada di atas landasan yang sama seperti yang sudah dan masih dialaminya sebagai produsen dan pengekspor bahan-bahan mentah primer dalam keadaan ketergantungan dan mengekspor barang-barang industripun juga dalam keadaan ketergantungan;
4.    Distorsi keadaan tersebut, menimbulkan peningkatan yang menyolok dalam jumlah yang bukan merupakan hasil evolusi dan struktur permintaan efektif didalam negeri maupun hasil evolusi dan kenaikan produktivitas;
5.    Proses spesialisasi internasional yang tidak adil, juga menimbulkan distorsi di negara-negara terbelakang dalam bentuk penggunaan teknik-teknik produksi modern yang padat modal untuk kegiatan-kegiatan yang ringan. Hal demikian disebabkan oleh karena adanya penentuan yang datang dari pihak luar yaitu pemilik-pemilik modal asing yang datang menginvestasikan modal mereka dalam membina industri-industi ringan ini. Umumnya pemilik-pemilik modal ini datang membawa mesin-mesin sebagai penyertaan mereka dalam perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan di negara-negara terbelakang. Disamping adanya pemikiran bahwa penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih banyak dalam proses produksi akan tidak menjurus kepada pemupukan surplus yang tinggi dalam waktu singkat untuk digunakan dalam proses reinvestasi;
6.    Dalam konteks hubungan ekonomi dengan negara-negara maju dan dengan modal asing yang banyak beroperasi di negara-negara terbelakang, maka kebocoran (leakage) yang berbentuk import dan hoarding (simpanan yang tidak produktif) bukanlah merupakan faktor-faktor yang menentukan kecilnya pengganda (multiplier) di negara-negara terbelakang ini;
7.    Manifestasi dan keterbelakangan negara-negara terbelakang tidaklah diukur dari rendahnya produksi per kepala, melainkan dicerminkan oleh adanya ciri-ciri struktural di negara-negara ini. Ciri-ciri struktural tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a.    Adanya ketidakmerataan yang parah dalam distribusi industri dan produksi serta adanya suatu sistem harga yang dipaksakan dari luar yang menimbulkan distorsi dan kepincangan distribusi pendapatan dalam negeri;
b.    Adanya situasi yang tidak saling terkait antar sektor sebagai akibat penyesuaian produksi terhadap kebutuhan negara-negara maju sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi tidak menyebar keseluruh sistem ekonomi. sehingga pertumbuhan ekonomi mengarah pada autocentric growth dan autodynamic growth;
8.    Bahwa perkembangan sistem kapitalis di negara-negara terbelakang (kapitalisme pinggiran/peripheral capitalism) sama sekali berbeda dengan perkembangan sistem kapitalis di negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan sistem kapitalis di negara-negara terbelakang ditentukan oleh sistem prakapitalis yang ada sebelum sistem kapitalis (baru) masuk dalam jaringan sistem kapitalis dunia yang kemudian menimbulkan sistem kapitalis yang terbatas dan penuh ketergantungan keluar, dimana sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan politik dengan pihak luar atau hubungan antar kelas di dalam negeri.
Dalam memberikan sanggahan (komentar) terhadap teori ketergantungan (dependensia) ini, penulis mencoba menggunakan beberapa pandangan utama yang dilontarkan oleh para pemikir sosial ekonomi antara lain sebagai berikut:
1.      Bahwa tesis ketergantungan ini sangat menitikberatkan pada hubungan pertukaran antara negara-negara terbelakang dengan negara-negara maju dan tidak memberikan perhatian yang cukup lengkap terhadap sifat hubungan antara kelas di dalam negara tersebut yang mengakibatkan keterbelakangan sebagian besar masyarakatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gunder Frank bahwa sifat dari cara berproduksi di negara-negara dunia ketiga sebahagian besar ditentukan oleh hubungan pertukaran dan bukan oleh hubungan produksi. Menurut Ranjit Sao disini Frank terlampau menitikberatkan aspek siapa yang pada akhirnya memperoleh sebahagian besar dari surplus ekonomi dan bagaimana surplus ekonomi ini ditarik, tanpa mempersoalkan secara lengkap proses yang sesungguhnya berjalan dalam menghasilkan suplus itu. Dengan kata lain Frank mengesampingkan kondisi-kondisi dimana proses produksi berlangsung dan dia hanya menitikberatkan pada syarat-syarat yang menjadi dasar pertukaran hasil produksi. Demikian juga halnya dengan aliansi-aliansi yang menyebabkan keterbelakangan kelas yang mewakili rakyat. Maka menurut pandangan Ranjit Sao disebabkan oleh adanya: Aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi Alliansi kelas borjuasi dengna kelas kapitalis asing; Aliansi kelas tuan tanah feodal dengan kapitalis asing. Aliansi-aliansi ini haruslah dilihat secara kumpulan elemen (block of elements) dan bukanlah secara pasangan elemen (pair of elements). Atau dengan maksud lain bahwa Ranjit Sao ingin mengatakan bahwa keseluruhan realitas sosial dan hubungan kelas yang dikemukakan disini, jeas bukan merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan proses yang harmonis dalam hubungan ekonomi yang kompetitif, melainkan menuju kepada suatu keseimbangan yakni menimbulkan ketidakmerataan dalam perkembangan situasi keterbelakangan.
2.    Sanggahan lain diberikan oleh Peter Evans (1979) yang melihat bahwa Brazil (sebagai salah satu negara yang terbelakang) telah terjadi suatu “Development” atau suatu proses industrialisasi, tetapi bukannya suatu proses pembangunan yang otonom melainkan suatu pembangunan dengan ketergantungan (dependent development). Tentunya disini Peter Evans bermaksud menolak pandangan teori dependensia yang mengatakan bahwa kondisi sosial ekonomi dan politik yang terdapat pada negara-negara berkembang atau dunia ketiga bukannya disebabkan karena ketidakberkembangan keadaan atau tak berubahnya dan keadaan asli melainkan merupakan hasil atau akibat dari proses sejarah dunia yang sama. yaitu sejarah atau perkembangan ekonomi negara-negara industri. Dengan kata lain pendapat ini terlalu menitikberatkan analisanya kepada kekuatan ekonomi luar yang dinilai hebat dan sangat menentukan. Sebaliknya terlalu meremehkan kemampuan kelompok borjuasi lokal (lumpen bourgeoisie). Dalam bukunya Evans bertitik tolak dari suatu hipotesa bahwa dewasa ini terdapat sejumlah negara yang secara jelas tidak bisa dikatakan Sebagai mata-mata daerah pinggiran. Negara-negara itu yang disebut sebagai “semi periphery” ternyata telah mampu mengontrol surplusnya sendiri. Dan atas dasar itu mulai melakukan proses industrialisasnya, Walaupun tidak dalam pola seperti yang terjadi di negara-negara core atau centre. Dalam proses ini Evans melihat pentingnya peranan dan struktur elite seperti yang terbentuk di Brazil. Dalam akhir analisanya Evans berpendapat bahwa pola industriaIis semacam itu memang tidak mampu memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya dari masyarakat. Disini Evans menyebut terjadinya suatu “Deformasi Struktural” (Structural Deformation) dalam perekonomian pinggir sebagai contoh, teknologi yang dalam jumlah besar diimport dari pusat memang tidak dirancang untuk menyerap kelebihan tenaga kerja petani yang menganggur dan rmenga!ami proses marginalisasi dalam arus modernisasi pertanian. Produk-produk yang dirancang di pusat dan diasimilasikan dipinggiran adalah merupakan barang sekunder, bahkan juga dinilai mewah dalam konteks masyarakat pinggiran, disamping pola produksinya menggunakan bahan-bahan yang langka dan menimbulkan distorsi dalam alokasi sumber-sumber untuk kepentingan kelompok tertentu dan menyimpang dari kebutuhan konsumsi massa. Pola semacam ini juga yang menyebabkan timbulnya proses marginalisasi produsen kecil dan eksekusi sebagian besar masyarakat sebagai konsumen barang-barang industri. Dengan demikian, menurut Evans kontradiksi yang lebih essensial tidak terdapat didalam hubungan diantara kekuatan segitiga, melainkan antara elite dan massa. Hal ini diekspresikan dalam gejala, disatu pihak terjadi proses internasionalisasi, sentralisasi dan konsentrasi kekuatan kapital monopoli, dan dilain pihak terjadi proses marginalisasi, eksekusi dan berkembangnya kemiskinan yang semakin mendalam pada lapisan masyarakat bawah.

IV.   PERBEDAAN TEORI MODERNISASI DAN TEORI DEPENDENSIA
Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya.
Teori ketergantungan merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori ketergantungan memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori ketergantungan ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa kesejahteraan bagi masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab kegagalan kapitalisme adalah penguasaan akses terhadap sumberdaya dan faktor produksi menyebabkan eksploitas terhadap kaum buruh yang tidak memiliki akses. Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran kelas dan perjuangan merebut akses sumberdaya dan faktor produksi untuk menuju tatanan masyarakat tanpa kelas.
Teori ketergantungan lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori ketergantungan mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori ketergantungan lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori ini mencermati hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga dengan negara sentral di Barat sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya menghasilkan akibat yang akan merugikan Dunia Ketiga. Negara sentral di Barat selalu dan akan menindas negara Dunia Ketiga dengan selalu berusaha menjaga aliran surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral.
Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan spesifik dan juga merupakan persoalan sosial politik. Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbelakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori ketergantungan memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
Bagi Frank, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kekurangan modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme.
Prebisch berbicara tentang aspek ekonomi dari persoalan ini, yakni ketimpangan nilai tukar. Menurut Presbisch, negara-negara yang terbelakang harus melakukan industrialisasi, jika ingin membangun dirinya. Industrialisasi ini dimulai dengan industri substitusi impor. Barang-barang industri yang tadinya diimpor, harus diproduksi di dalam negeri. Frank lebih berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan kelas-kelas yang berkuasa di negara-negara satelit. Bagi Frank, keterbelakangan hanya bisa diatasi melalui revolusi yang melahirkan sistem sosialis. Hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi negara satelit. Tidak mungkin ada perkembangan di negara satelit selama negara ini masih berhubungan dan menginduk kepada negara metropolis. Namun, Dos Santos berkata lain, Dia menyatakan bahwa negara pinggiran atau satelit bisa juga berkembang, meskipun perkembangan ini merupakan perkembangan yang tergantung, perkembangan ikutan. Impuls dan dinamika perkembangan ini tidak datang dari negara satelit tersebut, tetapi dari negara induknya.
Di dalam teori ketergantungan ini sendiri, pada pokoknya ada dua pendapat yang berbeda, yakni: Frank beranggapan bahwa struktur ketergantungan yang ada di negara satelit tidak akan memungkinkan negara ini melakukan pembangunan, khususnya industrialisasi. Sedangkan Dos Santos beranggapan bahwa hal tersebut mungkin, meskipun pembangunan dan industrialisasi yang terjadi merupakan bayangan dari apa yang terjadi di negara-negara pusat. 
Kedua teori ini berbeda dalam memberikan jalan keluar persoalan keterbalakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih memperat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal, peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus menerus untuk mengurangi keterkaitannya negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapaian tujuan ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.

No
Elemen Perbandingan
Teori Modernisasi Klasik
Teori Dependensi Klasik
1.
Persamaan fokus perhatian (keprihatinan).
·       Pembangunan dunia ketiga.
·         Sama.
2.
Metode.
·       Sangat abstrak.
·       Perumusan model-model.
·         Sama.
·         Sama.
3.
Dwi-kutub struktur ekonomi.
·       Tradisional dan modern.
·       (maju).
·         Sentral (metropolis).
·         Pinggiran (satelit).
4.
Perbedaan warisan teoritis.
·       Teori evolusi.
·       Teori fungsionalisme.
·         Program KEPBBAL.
·         Marxis ortodoks.
5.
Hubungan internasional.
·       Saling menguntungkan.
·         Merugikan negara dunia ketiga.
6.
Masa depan dunia ketiga.
·       Optimis.
·         Pesimis.
7.
Kebijaksanaan pembangunan (pemecahan masalah).
·       Lebih mendekatkan keterkaitan negara maju.
·         Mengurangi keterkaitan dengan negara sentral revolusi sosialis.


V.   IMPLIKASI TEORI DEPENDENSIA KLASIK
Secara filosofis, teori dependensia menghendaki untuk meninjau kembali pengertian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensia, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di  negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.


VI.   PERKEMBANGAN TEORI DEPENDENSIA
Teori dependensia baru telah mengubah berbagai asumsi dasar yang dimilki oleh teori dependensi klasik. Teori ini tidak lagi menganggap situasi ketergantungan sebagai suatu keadaan yang berlaku umum dan memilki karakteristik yang serupa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Situasi ketergantungan juga tidak lagi semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal, lebih dari itu, teori dependensia baru ini tidak memberlakukan lagi situasi ketergantungan sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi regional dan keterbelakangan, ketergantungan, menurut teori yang telah diperbaharui ini, lebih dikonsepkan sebagai sesuatu yang memiliki batas ruang dan waktu yang karenanya selalu memiliki ciri yang unik. Dengan kata lain, situasi ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan yang spesifik. Lebih dari itu, faktor internal memiliki andil lahirnya suasana ketergantungan, dan karenanya ketergantungan juga merupakan persoalan politik sosial.
Dengan perubahan pendekatan seperti yang telah diuraikan, tidak heran jika teori dependensia baru ini telah melahirkan berbagai kategori ilmiah baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teori dependensi klasik seperti misalnya adalah ”pembangunan yang bergantung”, ”negara birokratik otoriter”, ”aliansi tiga kelompok” dan ”pembangunan yang dinamis”. Sebagai akibatnya, pengertian-pengertian baru ini telah mampu membantu membuka jendela untuk melihat persoalan baru, atau paling tidak dengan pisau analisa baru, yang pada gilirannya telah menghasilkan tidak sedikitnya karya penelitian baru yang menguji secara lebih teliti persoalan pembangunan dan ketergantungan di negara dunia ketiga.

Perbedaan Teori Dependensia Klasik dan Teori Dependensia Baru
No
Indikator
Teori Dependensia klasik
Teori Dependensia baru
1.
Persamaan pokok perhatian
·     Negara dunia ketiga
·       Sama
2.
Level analisa
·     Nasional
·       Sama
3.
Konsep pokok implikasi
·     Sentral-pinggiran
·     Ketergantungan
·       Sama
4.
Kebijaksanaan
·     Ketergantungan bertolak-belakang dengan pembangunan
·       Sama
5.
Perbedaan metode
·     Abstrak pola umum
·     ketergantungan
·       Historis-struktural situasi konkrit ketergantungan
6.
Faktor pokok
·     Eksternal kolonialisme dan ketidakseimbangan nilai tukar
·       Internal negara dan konflik kelas
7.
Ciri-ciri politik ketergantungan
·     Fenomena ekonomis
·       Fenomena sosial
8.
Pembangunan dan ketergantungan
·     Bertolak-belakang
·     Hanya menuju pada keterbelakangan
·       Koeksistensi:
·       Pembangunan yang bergantung


VII.   DEPENDENSIA DAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Pada pertengahan 1960-an di dunia ketiga sedang menggejala mengundang masuknya modal asing dalam bentuk Multinational Corporations (MNC) dengan tujuan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonominya, menciptakan lapangan kerja dan meraih teknologi. Kehadiran modal asing dalam bentuk Multinational Corporations diharapkan menumbuhkan/melahirkan usaha-usaha lain (forward linkage and backward linkage), yang juga akan meningkatkan daya beli masyarakat (trickle down effect).  Model pembangunan dengan teori modernisasi yang pernah berhasil diterapkan misalnya di Jepang setelah perang dunia kedua, hendak diulangi di dunia ketiga.  Nilai yang kontekstual diangkat menjadi universal. Sejarah ditransformasi menjadi ideologi atau menjadi hukum ahistoris.
Termasuk di  Indonesia, hal ini  ditandai dengan adanya penetrasi finansial, teknologi dan penetrasi poltik serta budaya.  Melalui penetrasi finansial, teori dependesi masuk dengan liberalisasi sektor ekonomi yang ditandai dengan masuknya FDI dan MNC yang mulai beroperasi di Indonesia dan penetrasi politik serta budaya juga telah dimasuki oleh budaya asing khususnya budaya barat, baik itu melalui film, gaya hidup, bahan bacaan dan lain-lain.
Pada bulan Januari 1967 Pemerintah Orde Baru mengambil keputusan penting dengan mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (the Foreign Capital Investment Law No. 1 of January 1967), maka investor dari berbagai negara mulai masuk ke Indonesia. Apa yang mendasari masuknya MNC ke Indonesia? Pada umumnya keputusan sebuah MNC menanam modalnya di negara sedang berkembang didorong oleh keuntungan yang diharapkan lebih tinggi dibandingkan kemungkinan investasi di negaranya sendiri atau di negara maju yang lain. Keuntungan relatif dari investasi seperti itu tergantung dari faktor-faktor ekonomi maupun politik. Karena itu baik faktor ekonomi maupun politik dipertimbangkan bersama-sama. Sehubungan dengan ini, kiranya tepat pendapat Robert Gilpin:
“Direct investments are intended to establish a permanent source of income or supply in the foreign economy; consequently, they create economic and political relationships of a lasting andsignificant character”

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sesungguhnya dihadapkan pada dua pilihan: apakah mereka memilih ketergantungan kepada modal dan bantuan asing atau menempuh jalan mereka sendiri dalam proses menuju swadaya nasional berdasarkan keikutsertaan rakyat secara aktif dan sadar dalam proses pembangunan. Apabila jalan pertama yang ditempuh, yakni pembangunan yang bergantung kepada asing, seperti yang ditempuh Indonesia pasca 1966, maka akibat yang terjadi sudah jelas, yakni polarisasi yang makin tajam antara si kaya dan si miskin, serta kesediaan untuk memobilisasi sumber-sumber nasional guna kebutuhan asing. Dalam situasi seperti itu menurut  Adi Sasono  “stabilitas hanya bisa ditegakkan melalui pengetatan politik, karena keresahan sosial dan kemiskinan massal akan merupakan biaya sosial yang harus dibayar bagi pertumbuhan ekonomi di sektor modern dalam rangka integrasi dengan dunia kapitalisme internasional”.
Sedangkan pembahasan mengenai industri-industri di Indonesia, terlihat jelas bahwa walaupun terjadi perkembangan, namun tetap ada ketergantungan dan nampaknya sejalan dengan teori Associated-Dependent Development-nya Fernando Hendrique Cardoso. Dalam teori ini, “pemilikan” industri nampaknya tidak penting, apakah dimiliki pihak asing, berbentuk perusahaan patungan atau perusahaan domestik yang bergabung dengan perusahaan-perusahaan asing, tetapi penekanan justru pada siapa yang mengambil keputusan, umumnya berada di luar negeri.
Dalam kasus Indonesia, ketergantungan utang yang terlalu  besar dinilai mengakibatkan tergadaikannya kedaulatan negara, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan ekosistem  hutan. Benarkah demikian? Argumen pemerintah berutang selama ini adalah adanya kebutuhan investasi yang besar untuk pembangunan ekonomi  dan sosial dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan dan memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat yang terus  meningkat.
Pada saat yang sama, pemerintah dihadapkan pada keterbatasan sumber dana untuk melaksanakan agenda  pembangunan tersebut. Dalam konteks ini, utang diperlukan untuk menutup kesenjangan yang ada antara kebutuhan  investasi dan kemampuan mobilitas dana di dalam negeri (saving investment gap). Mereka yang mendukung utang cenderung hanya melihat manfaat, tanpa melihat biaya politik dan dampak utang terhadap  sosial ekonomi serta ekosistem. Bagi mereka, sah-sah saja kita berutang selama utang dipakai untuk tujuan produktif,  sebagaimana tecermin dari meningkatnya kapasitas perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan juga kapasitas membayar utang.
Sementara mereka yang menentang utang melihat adanya kesenjangan antara janji manfaat dan konsekuensi mahal  yang harus ditanggung bangsa akibat utang. Mereka melihat tak kunjung berubahnya paradigma kebijakan berutang  pemerintah dan tak adanya komitmen untuk menciptakan kemandirian ekonomi, seperti diamanatkan oleh para pendiri  bangsa (founding fathers).
Padahal, banyak contoh negara yang mampu berdiri sendiri menjadi negara maju dan bermartabat tanpa terus-menerus  bergantung pada utang kendati mereka tak memiliki sumber daya melimpah seperti Indonesia. Juga banyak contoh  negara yang selama ini menjadi langganan krisis utang berhasil bangkit dan tumbuh menjadi perekonomian yang jauh  lebih sehat setelah memperoleh penghapusan utang. Jika dicermati, kekhawatiran berbagai pihak menyangkut utang dilandasi sejumlah hal antara lain: ketergantungan  pembiayaan pembangunan pada utang yang tinggi serta konsekuensinya bagi kemandirian Indonesia dalam menetapkan  kebijakan yang tepat buat mereka sendiri tanpa didikte kepentingan kreditor.
Stok utang yang terus membengkak secara nominal kendati secara rasio terhadap PDB angkanya menurun.  Utang  Rp 1.700 triliun lebih tahun ini memang bukan yang terbesar dalam sejarah. Total utang Indonesia pernah mencapai Rp  2.100 triliun pasca krisis 1997/1998 antara lain karena adanya beban biaya restrukturisasi perbankan yang mencapai Rp  650 triliun lebih, tetapi situasi waktu itu bisa dikatakan tak normal.
Semakin membengkaknya kewajiban utang ini menjadi beban bagi APBN dan generasi mendatang karena menyedot  anggaran pembangunan dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial. Praktis sepertiga penerimaan pajak tersedot untuk  membayar bunga utang. Sementara untuk memenuhi kewajiban cicilan pokok, termasuk utang luar negeri, pemerintah  terus dipaksa menerbitkan utang baru (gali lubang tutup lubang). Pada masa Orde Baru, seperti diungkapkan Alm Prof Soemitro Djojohadikusumo, 30 persen utang dikorupsi sehingga  kemudian muncul istilah utang najis (odiuos debt) dan desakan untuk meminta penghapusan utang. Pasca-Orde Baru,  banyak utang yang sudah dibuat dan dikenai commitment fee mahal ternyata tak dicairkan sehingga jadi beban ekonomi.  Hanya sekitar 44 persen utang yang akhirnya terserap.
Kini, meskipun rezim utang sudah lebih terbuka (utang tak lagi dianggap sebagai sumber penerimaan negara seperti  pada era Orde Baru) dan sudah ada apa yang disebut ”manajemen risiko utang”, kita masih melihat begitu gampang  pemerintah membuat utang baru tanpa memikirkan bebannya bagi generasi mendatang. Padahal, tanpa tambahan utang  baru pun, utang sekarang ini baru akan lunas 40 tahun lagi.
Berikut catatan utang pemerintah pusat dan rasionya terhadap PDB sejak tahun 2000 (sumber detik.com):
·         Tahun 2000: Rp 1.234,28 triliun (89%)
·         Tahun 2001: Rp 1.273,18 triliun (77%)
·         Tahun 2002: Rp 1.225,15 triliun (67%)
·         Tahun 2003: Rp 1.232,5 triliun (61%)
·         Tahun 2004: Rp 1.299,5 triliun (57%)
·         Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
·         Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
·         Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
·         Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
·         Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
·         Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
·         November 2011: Rp 1.816,85 triliun (28,2%)

VIII.  DAMPAK DEPEDENSI UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
BI dalam kajian stabilitas keuangan 2008  pernah mengingatkan resiko dari kecenderungan meningkatnya tekanan  utang dengan terus meningkatnya stok utang luar negeri. Yang mencemaskan, peningkatan juga terjadi pada utang  jangka pendek. Kondisi ini, menurut BI, bisa menjadi sumber potensi kerawanan yang dapat mengancam ketahanan sektor keuangan  karena utang luar negeri atau modal asing yang masuk banyak ditempatkan pada SBI dan SUN yang jumlahnya  cenderung terus meningkat. Tekanan terhadap sektor keuangan bisa muncul jika modal asing yang ditempatkan di surat  berharga domestik itu tiba-tiba secara serentak dan mendadak mengalir keluar (sudden reversal). Tekanan juga muncul  karena besarnya pembayaran utang luar negeri. Berbagai desakan untuk dilakukannya moratorium utang, baik luar negeri maupun dalam negeri, menunjukkan  masyarakat sudah lelah dengan utang. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk  mengerem utang.
Pernyataan pejabat bahwa perekonomian akan stagnan tanpa utang atau pernyataan untuk tak alergi terhadap utang  menyiratkan posisi utang yang bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi sudah menjadi kebutuhan. Itu sekaligus tak adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu membawa perekonomian mandiri tanpa terus  bergantung pada utang. Selama ini definisi pemerintah soal berkurangnya ketergantungan utang adalah rasio utang terhadap PDB yang terus  menurun dan digantikannya peran dominan utang luar negeri oleh utang dalam negeri. ”Semakin menurunnya rasio utang terhadap PDB, meningkatnya rasio pajak, dan semakin besarnya sumber pembiayaan  defisit dari dalam negeri menunjukkan pemerintah semakin tak bergantung pada utang dan lebih banyak mengandalkan  pada kemampuan dalam negeri,” ujar Anggito Abimanyu. Pemerintah,  punya strategi pengelolaan utang domestik yang baik, mulai dari penerbitan, pelunasan,  pengaturan jatuh tempo, refinancing, buy back, hingga peminimuman biaya dan risiko utang sehingga potensi bom waktu  utang tak akan terjadi.
Ada beberapa strategi untuk mengurangi ketergantungan utang luar negeri yaitu:
1.      Meningkatkan penerimaan Negara melalui, penggalian potensi penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan dan jasa kementerian dan lembaga ditingkatkan dengan melakukan langkah-langkah penertiban dan perbaikan administrasi PNBP, penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PNBP, serta penyesuaian tarif dan peninjauan atas cakupan dan fleksibilitas penggunaannya;
2.      Peningkatan penerimaan negara dari pajak, cukai, dan PNBP;
3.      Penerapan manajemen resiko  terhadap pengajuan utang baru;
4.      Mengurangi ketergantungan pada utang bisa dilakukan dengan lebih banyak memobilisasi sumber dana dalam negeri  non-utang dan menekan kebocoran, terutama kebocoran di APBN;
5.      Menekan rasio utang terhadap PDB saja tak cukup. Harus ada perubahan paradigma dan langkah kebijakan lebih radikal  menyangkut utang. Termasuk di antaranya, mengurangi stok utang yang ada secara nominal (usulan lebih radikal bahkan menghendaki penghapusan utang) sehingga bisa mengurangi kerentanan ekonomi terhadap guncangan krisis dan dana untuk  membayar kembali utang bisa dipakai guna memperbaiki kesejahteraan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Heryanto, J, 2003. “Peranan Multinational Corporations Dalam Industrialisasi Di Indonesia Pada Era Orde Baru”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 5, No. 1, Maret 2003: 17 – 24.




Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Suryono, Agus. 2010. Dimensi-dimensi Prima Teori Pembangunan. Malang: UBPress.

Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan dalam Perspektif Teori Ilmu Sosial. Malang: UMPress.

Teori Dependesia. Didownload melalui http://prari007luck.wordpress.com/2008/10/08/teori-dependensi/ tanggal 25 Desember 2011.

Todaro, Michael P. 2000. Ekonomi untuk Negara Berkembang: Suatu Pengantar tentang Prinsip-prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan 2. Jakarta: Bumi Aksara.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar